BAB I
PENDAHULUAN
⦁ Latar Belakang
Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber hukum Islam. Dimana apabila ada persoalan seseorang dalam memecahkan masalah dengan merujuk kepada keduanya. Pada zaman Rasulullah SAW masih hidup, bila terjadi persoalan umat akan lebih mudah dalam menyelesaikannya. Dengan cara langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Namun, setelah wafatnya Rasulullah maka hukum Islam harus terus berjalan.
Hukum Islam akan terus berjalan meskipun Rasulullah telah wafat yaitu melalui para sahabat Nabi. Dengan berpegang kepada dua warisan yang diberikan kepada umatnya yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Maka, bila ada sebuah persoalan cara menyelesaikannya dengan merujuk kepada keduanya. Sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Qur’an, Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatum maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
Rasulullah sebelum meninggalkan umatnya, beliau memberikan contoh melalui pembicaraannya dengan Mua’az bin Jabal, bahwa penyelesaian persoalan umat itu berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kalau tidak ditemukan solusinya maka diselesaikan melalui ijtihad yang tentu saja tidak boleh bertentangan dengan kedua sumber hukum utama tersebut.
Dengan merujuk kepada pesan tersebut, maka para sahabat dan tabi’in melakukan ijtihad dan melahirkan fiqh. Terdapat perbedaan hasil ijtihad mereka, dikarenakan perbedaan kuantitas hadits serta situasi dan kondisi yang dialami. Selain itu, kadar pengunaan nalar dalam memecahkan sebuah persoalan menimbulkan beberapa madzhab dalam fiqh. Di dalam makalah ini penyusun akan menjelaskan dua Imam madzhab berserta dasar-dasar Istinbatnya yaitu Imam Abu Hanifa dan Imam Syafi’i.
⦁ Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang digunakan sebagai dasar penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut:
⦁ Apa pengertian dari Istinbath?
⦁ Bagaimana riwayat hidup Imam Hanafi dan dasar-dasar Istinbathnya?
⦁ Bagaimana riwayat hidup Imam Syafi’I dan dasar-dasar Istinbathnya?
⦁ Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah yang telah ditentukan, maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
⦁ Agar mengetahui pengertian Istinbath.
⦁ Agar memahami riwayat hidup Imam Hanafi serta dasar-dasar Istinbathnya.
⦁ Agar memahami riwayat hidup Imam Syafi’I serta dasar-dasar Istinbathnya.
BAB II
PEMBAHASAN
⦁ Pengertian Istinbath
Secara bahasa kata Istinbath yang katanya yaitu berasal dari bahasa Arab, "استنبط – يستنبط – استنباط" yang berarti mengeluarkan, melahirkan, menggali, dan lainnya. Kata dasarnya adalah "( الماء نبط- ينبط- نبطا- نبوطا) berarti air terbit dan keluar dari dalam tanah. Adapun yang dimaksud dengan istinbath disini adalah suatu upaya menggali dan mengeluarkan hukum dari sumber-sumbernya yang terperinci untuk mencari hokum Syara’ yang bersifat Zhanni.
Menurut bahasa, Mazhab (مذهب) berasal dari shighah mashdar mimmy (kata sifat) dan isim makan (kata yang menunjukkan tempat) yang diambil dari fi’il madhy “dzahaba” yang berarti “pergi”. Bisa juga berarti al-ra’yu yang artinya “pendapat”. Sedangkan yang dimaksud mazhab menurut istilah, yaitu:
⦁ Mazhab adalah jalan pikiran atau metode yang ditempuh oleh seorang Imam Mujtahid dalam menetapkan hokum suatu peristiwa berdasarkan kepada Al-Qur’an dan hadits.
⦁ Mazhab adalah fatwa atau pendapat seorang Imam Mujtahid tentang hokum suatu peristiwa yang diambil dari Al-Qur’an dan hadits.
⦁ Imam Abu Hanifah
⦁ Biografi
Imam Abu Hanifah dilahirkan pada tahun 80 H (699 M). Nama sebenarnya beluai dari mulai kecil yaitu Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Mah. Ayahnya keturunan dari bangsa Persi, tetapi sebelum beliau dilahirkan, ayahnya sudah pindah ke Kufah. Sehingga Abu Hanifah sejak kecil tinggal di Kufah.
Di negeri Kufah, Imam Abu Hanifah belajar Ilmu Fikih dan merumuskan dasar-dasar mazhabnya. Dan beliau meninggal di Baghdad pada tahun 150 H. Beliau hidup di dua zaman pemerintahan besar, yaitu pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Dia generasi atba’ at-tabi’in. Dia pernah bertemu sahabat Anas bin malik dan meriwayatkan hadits darinya, yaitu hadit yang artinya, “Menuntut ilmu adalah fardhu bagi setiap Muslim.”
Abu Hanifah menerima pembelajaran fikih dan mempelajarinya dari Hammad bi Abi Sulaiman, Hammad menerimanya dari Ibrahim an-Nakha’I, sedangkan Ibrahim merimanya pula dari ‘Aqlamah bin Qais, murid Abdullah bin Mas’ud. Kemahiran dan popularitasnya telah mencuat ketia berada di Irak. Mazhab pemikiran fikihnya diterima dan dibukukan oleh sejumlah ulama yang selalu mendampinginya, sehingga disebut sebagai Ashab Abu Hanifah.
Murid-murid Abu Hanifah yang paling masyhur adalah Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Hasan bin Ziyad dan Zufar. Sehingga pada periode selanjutnya, pendapat Imam Abu Ha ifah beserta murid-muridnya dikodifikasikan menjadi satu, yang kesemuanya disebut dengan Mazhab Abu Hanifah”. Mazhab ini banyak dianut sebagian besar di negeri Islam, seperti Baghdad, Persia, India, Bukhara, Yaman, Mesir dan Suria.
Mazhab Abu Hanifah merupakan mazhab paling berpengaruh dan merupakan mazhab resmi di sebagian besar masa dinasti Abbasiah. Keputusan peradilan dan fatwa hanya menggunakan mazhab Abu Hanifah. Demikian juga pemerintahan Usmaniah menjadikannya sebagai mazhab resmi negara. Peradilan dan fatwa pun harus didsarkan hanya pada mazhab Abu Hanifah.
⦁ Dasar-dasar Istinbathnya
Imam Muhammad bin Hasan pernah meriwayatkan dalam buku Chalil bahwa Imam Abu Hanifah seringkali mengajak bermunadlarah, bermubahatsah, berunding, dan bertukar fikiran dengan para murid atau para sahabat beliau yang karib, tentang soal-soal hokum qiyas, dengan cara bebas-merdeka, dan para murid beliau pun membantah dan menolak alasan-alasan yang dikemukakan beliau.
Abu Hanifah dikenal sebagai ulama Ahl al-Ra’yi. Dalam menetapkan hokum Islam, baik yang diistinbathkan dari al-Qur’an ataupun hadits, beliau banyak menggunakan nalar. Beliau mengutamakan ra’yi dan khabar ahad. Apabila terdapat hadits yang bertentangan, beliau menetapkan hokum dengan jalan qiyas dan Istihsan.
Telah diriwayatkan dari Abu Hanifah pendapat-pendapat yang menunjukkan garis besar metode istinbathnya dan dalil-dalil yang digunakannya. Di antaranya ia berkata, “Aku berpegang pada kitab Allah jika aku dapati hukum padanya. Jika tidak maka aku berpegang pada Sunnah Rasulullah. Jika aku tidak mendapatinya dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang pada ucapan sahabat, aku berpegang pada ucapan sahabat yang aku kehendaki dan aku tinggalkan siapa yang aku kehendaki, dan aku tidak keluar dari ucapan mereka kepada ucapan selian mereka. Namun ketika sampai pada masa Ibrahim, asy-Sya’bi, Ibnu Sirrin, ‘Atha’, dan Sa’id bin Musayyib (para mujtahid dari tabi’in), aku berijtihad sebagaimana mereka berijtihad”
Dasar-dasar pegangan madzhab Hanafi adalah sebagai berikut:
⦁ Al-Qur’an
Ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa pesan al-Qur’an tidak semuanya qath’i dalalah. Ada beberapa hal yang memerlukan interpretasi terhadap hukum yang ditunjukkan oleh al-Qur’an, terutama terhadap ayat-ayat yang berhubungan dengan muamalah umum antar manusia, dalam ayat-ayat yang berhubungan dengan muamalah tersebut, porsi penggunaan akal dalam mencari hukum terhadap suatu masalah lebih besar. Hal itu karena di buktikan baik oleh Imam Abu Hanifah sendiri maupun murid-muridnya dan karena itu juga sebagai mahzab yang Umari, mazhab liberalis dan rasionalis.
Dalam memahami al-Qur’an, ulama Hanafiyah tidak hanya melakukan interpretasi terhadap ayat-ayat yang masih mujmal, tetapi mereka juga melakukan penelaahan terhadap ‘am dan khas ayat al-Qur’an tersebut. Dan inilah yang tampaknya menjadi ciri khas ulama-ulama Irak yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah dan ulama-ulama Hijaz yang semazhab dengan mereka.
⦁ As-Sunnah
Dasar kedua yang digunakan oleh Mazhab Hanafi adalah al-Sunnah. Martabat al-Sunnah yang terletak di bawah al-Qur’an. Imam Abu Yusuf berkata, “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih alim tentang menafsirkan hadits dari pada Abu Hanifah. Ia adalah seorang yang mengerti tentang penyakit-penyakit hadits dan menta’dil dan mentarjih hadits. Tentang dasar yang kedua ini, Mazhab Hanafi sepakat mengamalkan al-Sunnah yang mutawatir, masyhur, dan shahih. Hanya saja Imam Abu Hanifah dan begitu juga ulama Hanafiyah agak selektif dalam menetapkan syarat-syarat yang dipergunakan untuk menerima hadits ahad.
Abu Hanifah menolak hadits ahad apabila berlawanan dengan al-Qur’an baik makna yang diambil dari nash atau yang diambil dari illat hukum. Ali Hasan Abdul al-Qadir mengatakan, “Musuh-musuh Abu Hanifah (yang tidak senang dengan Abu Hanifah) menuduhnya tidak memberikan perhatian yang besar terhadap hadits, ia memprioritaskan ra’yu (logika)”. Abu Salih al-Fura menuturkan, “Aku mendengar Ibn Asbath berkata, “Abu Hanifah menolak 400 hadits.
Terhadap hadits mutawatir Imam Abu Hanifah menerimanya tanpa syarat karena tingkat kehujjahannya qath’i, meskipun terdapat pertentangan antara hadits mutawatir dengan akal, beliau mendahulukan hadits mutawatir. Hal ini berbeda dengan hadits ahad, beliau menerima dan mengamalkan hadits ahad apabila hadits tersebut memenuhi beberapa persyaratan yaitu:
⦁ Orang yang meriwayatkan tidak boleh berfatwa yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkannya.
⦁ Hadits ahad tidak boleh menyangkut persoalan umum yang sering terjadi, sebab kalau menyangkut persoalan yang sering terjadi mestinya hadits ini diriwayatkan oleh banyak perawi.30
⦁ Hadits ahad tidak boleh bertentangan dengan kaidah umum atau dasardasar kulliyah.
⦁ Qaul al-Shahabah
Imam Abu Hanifah sangat mengahargai para sahabat. Dia menerima, mengambil serta mengharuskan umat Islam mengikutinya. Jika ada pada suatu masalah beberapa Qaul al-Shahabah maka ia mengambil salah satunya, jika tidak ada qaul al-Shahabah pada suatu masalah tersebut maka ia berijtihad dan tidak mengikuti pendapat tabi’in. Menurut Abu Hanifah Ijma’ sahabat ialah kesepakatan para mujtahidin dari umat Islam di suatu masa sesudah Nabi SAW atas suatu urusan.
Ta’rif itulah yang disepakati ulama ahl-al-Ushul. Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa ijma’ itu dijadikan sebagai hujjah. Mereka menerima ijma’ qauli dan ijma’ sukuti. Mereka menetapkan bahwa tidak boleh ada hukum baru terhadap suatu urusan yang telah disepakati oleh para ulama, karena membuat hukum baru adalah menyalahi ijma’. Ada tiga alasan dalam menerima ijma’ sebagai hujjah yaitu:
⦁ Para sahabat berijtihad dalam menghadapi masalah yang timbul. Umar bin Khattab dalam menghadapi suatu masalah sering memanggil para sahabat untuk memanggil para sahabat untuk diajak bermusyawarah dan bertukar pikiran. Apabila dalam musyawarah tersebut diambil kesepakatan maka Umar pun melaksanakannya.
⦁ Para Imam selalu menyesuaikan pahamnya dengan yang telah diambil oleh ulama-ulama di negerinya, agar tidak dipandang ganjil dan tidak dipandang menyalahi aturan hukum. Abu Hanifah tidak mau menyalahi sesuatu yang telah di fatwakan oleh ulama-ulama Kufah.
⦁ Adanya sebuah hadits yang menunjukkan keharusan menghargai ijma’ seperti:
مَارَاَهُ الْمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَھُوَ عِنْدَ للهِ حَسَنٌ.
“Sesuatu yang dianggap baik oleh kaum muslimin, maka dianggap baik pula di sisi Allah SWT”.
Dengan demikian jelaslah bahwa ulama Hanafiyah menetapkan bahwa ijma’ merupakan satu di antaranya hujjah dalam beragama, yang merupakan hujjah qath’iyyah. Mereka tidak membedakan antara macam-macam ijma’, oleh karena itu apapun bentuk kesepakatan para ulama itu berhak atas penetapan hukum dan sekaligus menjadi hujjah hukum.
⦁ Al-Qiyas
Al-Qiyas adalah “Penjelasan dan penetapan suatu hukum tertentu yang tidak ada nashnya dengan melihat masalah lain yang jelas hukumnya dalam kitabullah, sunnah ataupun ijma’ karena kesamaan illat”. Yang menjadi pokok pegangan dalam menjalankan qiyas adalah bahwa segala hukum syara’ ditetapkan untuk menghasilkan kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Hukum-hukum itu mengandung pengertian-pengertian dan hikmah-hikmah yang menghasilkan kemaslahatan baik yang diperintah maupun yang dilarang, atau yang dibolehkan maupun yang dimakruhkan, semuanya demi kemaslahatan ummat.
Walaupun demikian, tidak berarti semua masalah yang baru timbul dan tidak ada hukumnya dalam al-Qur’an , al-Sunnah dan ijma’ boleh di qiyaskan begitu saja atas dalih kemaslahatan umum, ada beberapa syarat dan rukun yang harus di penuhi untuk melakukan qiyas, antara lain:
⦁ Ashal, yaitu sesuatu yang sudah dinashkan hukumnya yang menjadi tempat mengqiyaskan atau dalam istilah ushul disebut al-ashli (al maqis alaih).
⦁ Cabang (furu’), yaitu sesuatu peristiwa yang tidak ada nashnya dan peristiwa itulah yang dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashalnya, atau dalam istilah ushul disebut juga al-maqis.
⦁ Hukum Ashal, yaitu hukum syara’ yang dinashkan pada pokok yang kemudian akan menjadi hukum pada cabang.
⦁ Illat hukum, yaitu sifat yang nyata dan tertentu yang berkaitan atau yang munasabah dengan ada dan tidak adanya hukum, dan illat inilah yang menjadi titik tolak serta pijakan dalam melaksanakan qiyas37.
⦁ Al-Istihsan
Al-Istihsan merupakan pola istinbath hukum Imam Abu Hanifah, istihsan secara terminologi difahami dengan pindahnya para fuqaha dari qiyas jali (jelas) kepada qiyas khafi (tersembunyi). Imam Abu Hanifah banyak menetapkan hukum dengan istihsan tapi tidak memberikan penjelasan bagaimana sesungguhnya maksud dari pada tulisan istihsan tersebut. Ketika menetapkan hukum dengan cara istihsan, beliau hanya mengatakan “astahsin” artinya saya menanggap baik39. Imam Abu Hanifah beserta pengikutnya membagikan teori istihsan ini kepada enam bentuk, yaitu:
⦁ Istihsan bi al-Nash, yaitu yang berdasarkan ayat atau hadits, maksudnya ada ayat atau hadits tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan kaidah umum, contoh: jual beli salam. Yaitu jual beli yang pembayarannya dilakukan lebih dahulu sedangkan barangnya belum ada disaat akad.
⦁ Istihsan bi al-Ijma’, yaitu istihsan yang berdasarkan pada ijma’, maksudnya meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu kasus karena adanya ijma’, contohnya tentang jasa pemandian umum yang dalam kaidah umumnya jasa tersebut harus jelas berapa seorang itu mandi dan berapa banyak air yang harus dipakainya, namun itu menyulitkan banyak orang yang sehingga ulama sepakat untuk membolehkan hal tersebut tanpa menentukan jumlah air dan lamanya pemakaian.
⦁ Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi, istihsan ini memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas jali kepada qiyas khafi, tetapi keberadaannya lebih tepat untuk diamalkan, misalnya wakaf dalam pertanian.
⦁ Istihsan bi al-Maslahah, yaitu istihsan yang berdasarkan kepada kemaslahatan, misalnya tentang keharusan buruh suatu pabrik untuk bertanggung jawab atas kerusakan setiap produk pabrik baik disengaja ataupun tidak.
⦁ Istihsan bi al-‘Urf, yaitu terhadap ketentuan hukum yang bertentangan dengan qiyas karena adanya ‘urf yang biasa dipraktekkan oleh masyarakat. Misalnya tentang menyewakan wanita untuk menyusukan bayinya dengan menjamin makanan, minuman dan pakaiannya.
⦁ Istihsan bi al-Dharurah, yaitu istihsan yang berdasarkan keadaan darurat, maksudnya karena adanya keadaan darurat yang menyebabkan seorang mujtahid untuk memberlakukan kaidah umum atau qiyas. Misalnya tentang sumur yang kemasukan najis, menurut kaidah umum air sumur itu tidak boleh dipergunakan karena telah terkena najis dan sulit untuk membersihkannya, akan tetapi dalam keadaan seperti ini cukup memasukkan beberapa galon air ke dalam sumur untuk menghilangkan najis.
⦁ ‘Urf
Kata ‘urf secara terminologi berarti “Sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara terminologi seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan adalah:
ما ألفه المجتمع واعتاده وسار علیه في حیاته من قول أوفعل.
Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perkataan ataupun perbuatan.
Istilah ‘urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian al-‘adah (adat istiadat). Seluruh ulama mazhab termasuk Imam Abu Hanifah menerima dan menjadikan ‘urf sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum, apabila tidak ada nash menjelaskan suatu masalah yang di hadapi. Adapun ‘urf yang dijadikan sebagai hujjah adalah ‘urf yang tidak bertentangan dengan syara’, baik berupa perkataan dan perbuatan maupun ‘urf yang menyangkut kebiasaan yang bersifat umum dan khusus atau biasa disebut dengan ‘urf shahih (yaitu ‘urf yang tidak bertentangan dengan syari’at).
⦁ Imam Syafi’i
⦁ Biografi
Imam Syafi’I dilahirkan pada bulan rajab tahun 150 H (767 M). menurut riwayat, oada tahun itu juga wafatnya Imam Hanafi di Baghdad. Imam Syafi’I dilahirkan di Gazza, wilayah Asqalan yang letaknya di dekat pantai lautan putih (laut Mati) sebelah tengah Palestina (Syam). Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Isris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’I bin as-saib bin Ubaid bin Abdul Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthallib bin Abdul munaf bin Qushay. Wafat pada thun 204 H.
Imam Syafi’I belajar dan menghafal al-Qur’an di Mekah dan disana pula ia mempelajari berbagai macam cabang ilmu, seperti lugat, sya’ir, adab, hadits dan fikih. Ilmu-ilmu itu dikuasai dengan baik dan sempurna, sehingga mampu membuat gurunya kagum dan bangga kepada ketajaman hati dan nalarnya. Imam syafi’i menimba ilmu kepada Sufyan bin’Unaiyah dan Muslim bin Khalid az-Zinji.
Di usia 20 tahun ia pergi ke Mekkah untuk mempelajari fikih kepada Imam Malik. Kemudian ia pergi menuju Irak, untuk mengujungi dan mempelajari Fikih kepada murid-murid Abu Hanifah. Lalu melanjutkan pengembaraannya ke negeri Persia, Irak Utara dan negeri lainnya. Kemudian, ia kembali ke Madinah setelah meraungi mencari ilmu selama 2 tahuan, dimulai tahun 172 sampai 174 H.
Mazhab Imam Syafi’i diterima oleh sejumlah ulama besar. Diantara murid-muridnya yang paling masyhur adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam, Abu Ibrahim Isma’il bin Yahya al-Mazuni, Abu Ya’qub Yusuf bin al-Buwaiti dan ar-Rabi’ al-Jizi. Dan kedua murid Imam Malik yang belajar langsung kepada Imam Syafi’i yaitu Asyhab dan Abu al-Qasim.
Mazhab Imam Syafi’i tersebar luas di negara-negara Islam terpenting dunia Timur. Dari negeri Timur, ia menerobos ke beberapa kerajaan dan kota lainnya dan kini mendominasi wilayah-wilayah Mesir, selain Mesir Atas, Palestina, Kurdistan dan Armenia. Mayoritas Ahlu Sunah Persia (Iran), kaum muslimin pulau Ceylon dan kepulauan Filipiha. Kaum muslimin di pulau Jawa dan sekitarnya, juga Muslimin India-Cina dan Australia serta penduduk dunia ketiga. Demikian pula kaum Sunni di Yaman, Aden dan Hadramaut, kecuali Aden yang terdapat juga penganut mazhab Hanafi. Selain itu, mazhab Syafi’i berlaku di Irak, Hijaz dan Suria bersama mazhab-mazhab lain.
⦁ Dasar-dasar Istinbathnya
Menurut Musthofa as-Sibaiy seperti dikutib oleh Chuzaimah t.Yanggo bahwa Imam Syafi’ilah yang meletakkan dsar pertama tentang kaedah-kaedah periwayatan hadits dengan tidak terlalu ketat sebagaimana siidyaratkan Imam Hanafi dan tidak pula terlalu longgar seperti syarat Imam Malik, karena pendapatnya yang bisa mengakomodir perbedaan-perbedaan fundamental atar Imam madzhab tentang as-sunnah, maka beliaupun digelari senbagai Nashir Sunnah. Hal ini adalah hasil mempertemukan antara fiqih Madinah dan fiqih Iraq.
Adapun dasar-dasar hokum yang dipakai oleh madzhab Syafi’i ialah:
⦁ Al-Qur’an
Imam Syafi’i terhadap sumber hokum utama ini mengambil makna lainnya kecuali didapati alasan lain yang menunjukkan bukan arti lahirnya yang harus dipakai.
⦁ As-Sunnah
Beliau mengambil sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi ahad pun diambil dan dipergunakan pula yang menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama perowi hadits itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW.
⦁ Al-Ijma’
Beliau memandang bahwa Ijma’ sahabat lebih utama daripada pihak dzahir hadits dan khabar ahad. Imam Syafi’i mensyaratka ijma’ sahabat harus punya landsan nash dan riwayat dari Nabi SAW. Selain itu beliau hanya menyakini Ijma’ sharih sebagai dalil hokum dan menolak Ijma’ sukuti karena diamnya sebagian Mujtahid belum tentu menunjukkan setuju.
⦁ Al-Qiyas
Menurut beliau Qiyas dipergunakan apabila jika dalam keadaan memaksaa di saat tidak ditemukan hukumnya dalam ketiga sumber diatas. Dalam pada itu, beliau tidak terburu-buru menjatuhkan hokum secara qiyas, sebelum menyelidiki lebih dalam dapat atau tidaknya hokum itu dipergunakan.
⦁ Istidlal
Apabila beliau dalam suatu perkara yang bertalian dengan hokum sudah tidak mendapati dalil dari Ijma’ dan tidak ada jalan dari Qiyas, maka barulah beliau mengambil dengan jalan istidlal, yakni mencari alasa, bersandarkan atas qaidah-qaidah (undang-undang) agama, meskipun dari agama ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Dan beliau tidak sekali-sekali mempergunakan pendapat atau buha pikiran manusia, beliau juga tidak mau mengambil hokum denga cara “istihsan” seperti yang biasa dikerjakan oleh para ulama’ dari pengikut Imam Hanafi fi Baghdad dan lain-lain. Inilah dsar-dsar madzhab Imam Syafi’i yang sebenarnya.
BAB III
PENUTUP
⦁ Kesimpulan
Dari berbagai penjelasan yang telah dipaparkan oleh penyusun, maka bisa ditarik kesimpulan yaitu:
⦁ Istinbath adalah upaya menggali dan mengeluarkan hokum dari sumber-sumber yang terperinci untuk mencari hokum Syara’ yang bersifat Zhanni.
⦁ Dasar-dasar Istinbath Madzhab Imam Hanafi yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Qoul al-shahab, Al-Qiyas, Al-Istihsan dan ‘Urf.
⦁ Dasar-dasar Istinbath Madzhab Imam Syafi’i yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’, Al-Qiyas dan Istidlal.
⦁ Saran
Dengan penjelasan diatas semoga mahasiswa Pendidikan Agama Islam bisa memahami dan mampu menganalisa sendiri tentang dasar-dasar Istinbath kedua Imam Madzhab yaitu Imam Hanafi dan Imam Syafi’i. Semoga makalah selanjutnya bisa lebih rinci dalam membahas apa rumusan masalah yang telah ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA
Chalil, Moenawar. 1994. Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab: Hanafi, Maliky, Syafi’iy, Hambaly. Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Hamid, Zeid Husein dan Hasanudin. 2003. Salat Empat Mazhab. Bogor: PT. Pustaka Lentera AntarNusa.
Siswadi. Sistem Istinbath Hukum Empat Imam Mazhab. Diakses tanggal 30 oktober 2016, pukul 17.00 wib. Diakses pada https://siswady.wordpress.com/makalah/sistem-istinbath-hukum-empat-imam-mazhab/.
Senin, 14 Agustus 2017
MADZHAB EMPAT DAN DASAR-DASAR ISTINBATHNYA “Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi’i”
Diposting oleh
putri-flower.blogspot.co.id
di
06.18
Langganan:
Posting Komentar (Atom)



0 komentar:
Posting Komentar