|
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Al-Qur’ān ( Arab, Al-Qur’an: القرآن)
merupakan kitab suci Agama Islam yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril. Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan
penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman, dan sebagai wahyu
pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW adalah
sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-'Alaq ayat 1-5.
Al-Qur'an tidak diturunkan oleh Allah SWT kepada
Nabi Muhammad SAW secara sekaligus melainkan ayat-ayat al-Qur'an diturunkan
secara berangsur-angsur, ayat demi ayat, surat demi surat yang memakan waktu
selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Masa turunnya Al-Qur’an ini dibagi menjadi 2
periode: yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah Al-Qur’an diturunkan
berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan
surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode
Madinah Al-Qur’an diturunkan dimulai sejak peristiwa hijrah Rasulullah berlangsung selama 10
tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah. Ilmu Al-Qur'an yang
membahas mengenai latar belakang atau sebab-sebab suatu atau beberapa ayat
Al-Qur'an diturunkan disebut Asbabun Nuzul (Sebab-sebab Turunnya (suatu ayat).
|
B.
Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah sehingga terbentuknya
makalah yakni:
1.
Apa penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an itu?
2.
Bagaimana kronologis penulisan dan pengumpulan
Al-Qur’an masa Nabi Muhammad SAW ?
3.
Bagaimana kronologis penulisan dan pengumpulan
Al-Qur’an pada masa Sahabat Rasulullah?
4.
Apa yang dimaksud Ilmu Rasmul Al-Qur’an?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Agar mengetahui sejarah penulisan Al-Qur’an
2.
Agar mengetahui sejaran pengumpulan Al-Qur’an
3.
Agar mengetahui Ilmu Rasmul Al-Qur’an
|
PEMBAHASAN
A. Penulisan dan Pengumpulan
Al-Qur’an
Al-Qur`an merupakan kumpulan firman atau wahyu yang
diberikan Allah SWT sebagai satu kesatuan kitab kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat muslim. Menurut syariat Islam, kitab
ini dinyatakan sebagai kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, selalu
terjaga dari kesalahan, dan merupakan tuntunan membentuk ketaqwaan manusia.[1] Kumpulan firman (ayat-ayat Al-Qur’an)
tersebut juga dikenal dengan Istilah Mushaf atau kumpulan dari suhuf-suhuf atau
lembaran-lembaran tertulis yang disatukan.
Dalam kaitannya dengan sejarah
penulisan naskah Al-Qur’an secara keseluruhan naskah Al-Qur’an telah dituliskan
sejak masa Nabi Muhammad SAW ketika masih hidup. Malaikat jibril setiap satu
tahunnya menyuruh Nabi Muhammad SAW mengulang membaca Al-Qur’an yang telah
diturunkan dari awal sampai akhir, sedang di tahun Nabi akan meninggal dunia,
hal ini dilakukan dua kali. Dengan ini nyatalah bahwa susunan ayat-ayat dalam
satu surat dan susunan surat itu telah ditentukan oelh Nabi berdasarkan
petunjuk Jibril,[2]
dan kemudian terjaga melalui penyampaian lisan. Istilah yang dikenal dengan
penulisan naskah Al-Qur’an pada zaman Nabi adalah “Jam’u Al-Qur’an” yakni
mengumpulkan Al-Qur’an sebagai satu kesatuan, dan hal ini dilakukan melalui dua
cara, yaitu :
1.
Mengumpulkan Al-Qur’an dalam
Dada.
|
Allah berfirman yang artinya:
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf
seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan
Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
(Q.S. Al-Jumu’ah:2)
2.
Mengumpulkan Al-Qur’an dalam
bentuk tulisan
Keistimewaan
yang kedua dari Al-Qur’an ialah pengumpulan dan penulisannya dalam bentuk
lembaran-lembaran, atau dalam bentuk sebuah mushaf. Sesungguhnya penulisan Al-Qu’an dalam bentuk teks sudah dimulai sejak
zaman Nabi saw dan jarang didapatkan, karena pada zaman itu mereka kebanyaknya
mengandalkan kepada hafalan bukan kepada tulisan. Kemudian sedikit demi sedikit
mulai didapatkan perobahan Al-Qur’an dari hafalan ke tulisan dan perobahan
Al-Qur’an menjadi teks terus dijumpai dan dilakukan sampai pada zaman khalifah
Utsman bin Affan ra
Oleh sebab itu, istilah “Jam’u
Al-Qur’an” dalam pengertian klasik mempunyai berbagai makna, seperti menghafal
Al-Qur’an, menulis kembali setiap wahyu turun, mengumpulkan bahan-bahan
Al-Qur’an yang telah dituliskan, mengumpulkan laporan dari orang-orang yang
telah menghafalnya, dan mengumpulkan bahan-bahan yang telah ada, baik verbal
atau tulisan.
Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi
sebuah mushaf, telah melalui proses panjang. Mulai dari Ayat yang pertama turun
sampai ayat yang terakhir turun, benar-benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk
menjaga dan memelihara ayat-ayat agar tidak terlupakan atau terhapus dari
ingatan terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya tersebut dengan cara yang
sederhana yaitu Nabi menghafal ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para
sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan Nabi.
Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah
mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan Nabi.[3]
B.
Penulisan dan
Pengumpulan Al-Qur’an Masa Nabi Muhammad SAW
Pada masa Nabi Muhammad SAW penulisan dan
pengumpulan Al-Qur’an melalui dua cara yakni hafalan dan penulisan dalam
lembaran (shuhuf). Rasulullah SAW juga menghafal Al-Qur’an dan dipandu langsung
oleh malaikat Jibril dalam sekali setahun. Disaat Rasulullah telah faham dan
hafal, kemudian beliau memberikan dan membacakannya kepada sahabat untuk
menghafalkan dan mengingat juga ayat demi ayat Al-Qur’an. Nabi Muhammad SAW
juga sering memberikan ulangan kepada para sahabat dan menyuruh untuk
membacakan Al-Qur’an dihadapan beliau dengan tujuan membetulkannya jika terjadi
kesalahan. Begitu
kuatnya Nabi SAW untuk mengingat dan menghafal setiap wahyu yang telah
diterimanya, sehingga sahabat Nabi menghafalkannya dan berlangsung sampai
penghabisan turunya wahyu.
Nabi Muhammad SAW merupakan “Sayyid Al-Huffazd”
atau penghulu dari penghafal Al-Qur’an. Beliau juga menjadi tempat bertanya
bagi kaum muslim yang kesulitan tentang Al-Qur,an. Para sahabat pun
berlomba-lomba dalam menghafal Al-Qur’an sehingga semakin banyak yang menghafal
Al-Qur’an sebagian bahkan seluruhnya.
Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi didorong dengan
dua faktor :
1.
Memback-up hafalan yang telah dilakukan Nabi dan
para sahabatnya.
2.
Mempresentasikan wahyu dengan cara sempurna.
Pada umumnya masyarakat muslim pada masa Nabi belum ada yang bisa
menulis dan membaca. Tapi, tidak menutup kemungkinan tidak adanya yang bisa
membaca serta menulis diantara mereka. Ada beberapa diantara mereka yang sudah
bisa membaca dan menulis terutama suku Quraisy sebelum Nabi diutus menjadi
Rasul, seperti Zaid bin Tsabit dari orang-orang yang berada di Madinah. Setelah
datangnya Islam, orang-orang yang mampu baca tulis memperoleh perhatian khusus
dari Nabi SAW. Ini dari pemanfaatan tawanan perang yang diharuskan oleh Nabi
memberikan pengajaran menulis kepada para sahabat. Kemudian ketika sudah banyak sahabat yang bisa membaca dan menulis. Nabi
Muhammad SAW merasa Al-Qur’an tidak cukup hanya dengan dihafal melainkan juga
harus ditulis. Dengan demikian akan lebih terjaga karena ada dua cara dalam
memelihara serta menjaga keutuhan Al-Qur’an yaini dalam dada (Hafalan) dan
tulisan. Sejak saat itu sahabat
beramai-ramai menulis Al-Qur’an dengan disaksikan Rasulullah sendiri.
Tentang
penulisan wahyu di masa Rasulullah ada beberapa orang yang khusus ditunjuk
untuk menuliskan Al-Qur’an. Mereka di kenal sebagai penulis wahyu yakni Abu
Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab,
Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas-’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Khalid bin Walid,
Aban bin Sa’id, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Zubair bin Awwam, Handholah bin
Ar-Robi, Al-Asadi, Muatqid bin Fatimah, Abdullah bin Arqam, Tsabit bin Qais,
Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqas, Amir bin Fuhairah, Hudzaifah bin
Al-Yaman, Mughiroh bin Asy-Syu’ban, Amru bin ‘Ash dan lain-lain. Terdapat informasi yang
cukupekstensif mengenai bahan-bahan yang digunakan sebagai media untuk
menuliskan wahyu yang turun dari langit melalui Muhammad SAW. Dalam suatu
catatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang ketika itu digunakan untuk
menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan Allah kepada Muhammad,[4] yaitu:
1.
Riqa, atau lembaran lontar atau perkamen;
2.
Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari
kepingan batu kapur yang terbelah secara horizontal lantaran panas;
3.
‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian
ujung dahan pohon kurma yang tipis;
4.
Aktaf, atau
tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta;
5.
Adlla’ atau
tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta;
6.
Adim, atau
lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan utama
untuk menulis ketika itu.
Pembukuan Al-Qur’an dilakukan secara tersusun
berdasarkan Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas dari Utsman bin Affan
bahwa apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil sekretaris untuk
menuliskannya, kemudian bersabda “letakkanlah ayat ini dalam surat yang
menyebutkan begini atau begitu”.[5]
Pembukuan Al-Qur’an tersebut tidak disusun berdasarkan kronologis turunnya
wahyu. Seperti yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra, ia berkata :
كُناَّ عِنْدَ رَسُوْلِ الله ِ
نُؤَلِّفُ الْقُرْآنَ مِنَ الرِّقاَع
“Kami di
sisi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, meng-umpulkan Al-Qur’an dari kulit”.
Para
penulis wahyu itu diperintahkan oleh Rasulullah untuk menulis wahyu yang
diterimanya dan peletakan urutan-urutannya sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad
SAW berdasarkan petunjuk Allah SWT melalui Jibril. Kemudian semua ayat-ayat
Al-Qur’an yang telah ditulis di hadapan Nabi SAW di atas benda yang
bermacam-macam itu disimpan di rumah Nabi dalam keadaan masih terpencar-pencar,
ayat-ayat belum dihimpun dalam suatu mushaf atau shuhuf Al-Qur’an. Di samping
itu para penulis wahyu secara pribadi membuat naskah dari tulisan ayat-ayat
Al-Qur’an tersebut untuk mereka simpan masing-masing. Shuhuf Al-Qur’an yang disimpan
di rumah Nabi Saw dan diperkuat dengan naskah-naskah Al-Qur’an yang dibuat oleh
para penulis wahyu untuk pribadi mereka sendiri serta ditopang dengan hafalan
para sahabat yang tidak sedikit jumlahnya. Maka semuanya dapat menjamin
Al-Qur’an agar tetap terpelihara secara lengkap dan murni.
C.
Penulisan dan
Pengumpulan Al-Qur’an Masa Sahabat
1.
Masa Abu
Bakar
Pada dasarnya,
Al-Qur’an sudah ditulis pada masa Nabi Muhammad masih hidup. Akan tetapi
kondisi ayat-ayatnya ditulis masih terpencar-pencar. Ketika Nabi wafat,
kaum uslimin mengangkat Abu Bakar
menggantikan Rasulullah menjadi khalifah pertama ketika masa permulaan.
Pada masa pemerintahan
Abu Bakar timbullah keinginan untuk mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu mushaf.
Usaha pengumpulan Al-Qur’an ini timbul ketika terjadi perang Yamamah pada tahun
12 H yang menyebabkan sebagian orang- orang yang hafal Al-Qur’an mati Syahid.
Hal inilah yang menjadi pemikiran Umar bin Khattab, betapa besar kerugiannya
bila huffazhul Qur’an itu banyak yang meninggal di medan pertempuran.
Umar bin Khattab
mengingatkan Khalifah akan bahaya yang mengancam Al-Qur’an. Kemudian beliau
berpendapat agar khalifah mengambil langkah-langkah untuk mengumpulkan
Al-Qur’an menjadi suatu mushaf. Umar kemudian bermusyawarah dengan Abu Bakar
akan pendapatnya untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Pada Mulanya Khalifah menolak
pendapat itu, karena tidak pernah dilakukan Rasulullah semasa hidupnya. Namun Umar
menyakinkan bahwa usaha itu amat baik dan sangat diperlukan.
Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut.
Dalam melaksanakan tugasnya Zaid kriteria yang ketat untuk setiap ayat yang
dikumpulkna. Ia tidak akan menerima ayat yang hanya berdasarkan hafalan tanpa
didukung dengan tulisan. Sikap kehati-hatian Zaid dalam mengumpulkan Al-Qur’an
ini didasarkan atas pesan Abu Bakar: ” Duduklah kalian di pintu masjid. Siapa
yang datang kepada kalian membawa catatan Al-Qur’an dengan dua saksi, maka
catatlah”.[6] Dua saksi yang dimaksud ialah :
1. Harus diperoleh
secara tertulis oleh seorang sahabat.
2. Harus dihafal
oleh slah seorang dari kalangan sahabat.
Zaid bin Tsabit bisa
menyelesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, tepatnya pada tahun 13 H.
Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam
satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu
Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut
berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya dan setelah umar wafat,
selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafshah yang juga istri Nabi Muhammad.
a.
Beberapa keistimewaan Mushaf Abu Bakar
Lembaran-lembaran yang
dikumpulkan dalam satu mushaf pada masa Abu Bkar memiliki beberapa keistimewaan
yang terpenting:
1)
Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat
mendetail dan kemantapan yang sempurna.
2)
Yang tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan yang
pasti, tidak ada naskah bacaannya.
3)
Ijma umat terhadap mushaf tersebut secara mutawatir
bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
4)
Mushaf mencakup qiraat sab’ah yang dinukil
berdasarkan riwayat yang benar-benar sahih.
2.
Masa Utsman
bin Affan
Pada masa pemerintahan
khalifah ke – 3 yaitu Utsman bin Affan, timbul hal-hal yang menyadarkan beliau
untuk memperbanyak naskah mushaf dan mengirimkannya ke kota-kota dalam wilayah
negara Islam. Akan tetapi, tumbullah perbedaan dalam menbaca Al-Qur’an karena
perbedaan bahasa bangsa-bangsa Islam. Perselisihan dalam membaca Al-Qur’an
sudah cukup serius sehingga Khudzaifah melaporkan kepada khalifah Utsman dan
mendesaknya agar mengambil langkah guna
mengakhii perbedaan yang terjadi.
Itulah sebabnya
Khalifah Utsman berfikir serta merencanakan untuk mengambil langkah-langkah
positif sebelum perbedaan bacaan Al-qur’an semakin meluas. Usaha Awal yakni
mengumpulkan para sahabat yang alim dan jenius seta mereka terkenal pandai
memadamkan dan meredakan persengketaan itu. Akhirnya mereka sepakat menerima
instruksi Utman yaitu membuat mushaf Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk
membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang
ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku.
Mereka sepakat dalam
menerima instruksi Ustman, yakni ‘Utsman mengirim utusan kepada Hafshah guna
meminjam Mushaf yang terwariskan dari ‘Umar.
Dari Mushhaf tersebut, lalu dipilihnya tokoh andal dari
kalangan senior sahabat untuk memulai rencananya. Pilihannya jatuh kepada Zayd
bin Stabit, ‘Abdullah bin Zubayr, Sai‘id bin ‘Ash dan ‘Abdurrahman bin Hisyam
mereka dari suku Quraisy, golongan Muhajirin, kecuali Zayd bin Tsabit, ia
golongan Anshar. Usaha yang mulia ini berlangsung pada tahun 24 H. Sebelum
memulai tugas ini, ‘Utsman berpesan kepada mereka :
إِذَا
اِخْتَلَفْتُمْ اَنْتُمْ وَزَيْدٌ بِنْ ثَابِتْ فِى شَيْئٍ، فَكْتُبُوْهُ
بِلِسِانِ قُرَيْشٍ، فَإِنَّهُ إِنَّمَا نَزَّلَ بِلِسَانِهِمْ
Terjemahnya : Jika kalian berselisih pendapat
dalam qira’ah dengan Zayd bin Stabit, maka hendaklah kalian
menuliskannya dengan lughat Quraisy, karena sesungguhnya Alquran
diturunkan dengan bahasa mereka.[7]
Setelah memahami pesan di
atas, tim ini bekerja dengan ekstra hati-hati dan teliti, yang kemudian
melahirkan satu mushaf yang
dianggap sempurna Bersamaan dengan standardisasi ini, seluruh
mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk
dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten
yang menjadikan perselisihan di antara umat Islam pada masa depan dalam
penulisan dan pembacaan Al-Qur'an. Standar tersebut, yang kemudian dikenal
dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini.
Terdapat banyak
perdebatan mengenai sistematika pengurutan surat dan ayat dalam Al-Qur’an,
apakah taqifi atau taufiqi sejak dahulu dan perdebatan tersebut belumberakhir
hingga saat ini. Pendapat pertama, bahwa Al-Qur’an merupak hasil tauqif Nabi artinya susunan
serta urutan surat didapat melalui ajaran beliau.[8]
Pendapat
yang kedua, pandangan yang mengatakan bahwa urutan surat Al-Qur’an adalah
berdasarkan Ijtihad sahabat. Pendapat ini disandarkan pada banyaknya mushaf
yang dimiliki oleh sahabat yang berbeda, ada yang tertib urutannya seperti
mushaf yang dikenal saat sekarang ini, ada pula yang tertibnya berdasarkan kronologis
turunnya ayat. Pendapat yang kedua ini juga diperkuat oleh Teks Hadist
Mutawatir mengemukakan mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf. Rasulullah saw.
Bersabda. “Jibril membacaka kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku
meminta agar huruf itu ditambah, iapun menambahkannya kepadaku hingga tujuh
huruf”[9]
Pada mulanya penulisan
huruf-huruf Al-Qur’an tidak diberi tanda titik dan garis, tetapi tidak
mengelirukan dalam membacanya. Namun setelah perkembangan Islam meluas keluar
tanah Arab, maka bagi orang-orang yang bukan bangsa Arab akan susah dalam
membacanya dan mungkin mengelirukan. Yang pertama membuat baris itu
dan pembubuhan tanda syakal berupa fathah, dhamah, dan kasrah dengan titik yang
warna tintanya berbeda dengan warna tinta yang dipakai pada mushaf, yakni Abu
Aswad Dauli di masa Khalifah Muawiyah. Pada masa Daulah
Abbasiyah, yang memulai memberi titik untuk membedakan
huruf-huruf yang sama bentuknya dan tanda syakal diganti. Tanda dhamah ditandai
dengan dengan wawu kecil di atas huruf, fathah ditandai dengan alif kecil di
atas huruf, dan kasrah ditandai dengan ya` kecil di bawah huruf.
3.
Perbedaan
Mushaf Abu Bakar dan Utsman
Pengumpulan
mushaf pada masa Abu Bakar adalah bentuk pemindahan dan penulisannya Al-Qur’an
ke dalam satu mushaf yang ayat-ayatnya sudah tersusun, berasal dari tulisan
yang terkumpul pada kepingan–kepingan batu, pelepah kurma dan kulit-kulit
binantang. Latar belakangnya karena banyaknya huffaz yang gugur. Sedangkan
pengumpulan mushaf masa Usman adalah menyalin kembali mushaf yanng telah
disusun pada masa Abu Bakar dengan tujuan dikirimkan ke negara-negara Islam.
Latar belakangnya karena perbedaan dalam hal membaca Al-Qur’an.
D.
Ilmu Rasmul
Al-Qur’an
Ilmu Rasmul Al-Qur’an adalah ilmu yang mempelajari
tentang cara penulisan mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik
dalam penulisan lafadz-lafadz maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakannya.
Mushaf Usmani atau Rasmul Usmani adalah penulisan
Al-Qur’an yang dilakukan pada masa Khalifah Ustman bin Affan dengan berpedoman
pada mushaf yang terdapat pada Khafsoh serta hafalan para sahabat.
Para ulama menjelaskan beberapa kaidah yang berlaku
dalam penulisan mushaf Usmani, yaitu:
1.
Al-Hadzf (membuang,menghilangkan, atau meniadakan
huruf)
2.
Al-Jiyadah (penambahan)
3.
Al-Hamzah
4.
Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan
wawu sebagai penghormatan.
5.
Washal dan Fashal (penyambungan dan pemisahan)
6.
Kata yang dapat dibaca dua bunyi.
|
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas tentang penulisan dan
pembukuan Al-Qur’an dapat disimpulkan menjadi beberapa hal yaitu sebagai
berikut :
1. Bahwa
penulisan dan pembukuan Al-Qur’an
dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama pada masa Nabi dan Tahap yang kedua
pada masa Sahabat yakni Abu Bakar As Shidiq dan Utsman bin Affan.
2. Penulisan dan
Pembukuan Al-Qur’an pada masa Nabi masih dalam bentuk lembaran-lembaran dan
masih terpencar-pencar. Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi didorong dengan dua
faktor : a) Memback-up hafalan yang telah dilakukan Nabi dan para sahabatnya.
b) Mempresentasikan wahyu dengan cara sempurna.
3. Penulisan dan
Pembukuan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar yakni pebentukan Mushaf karena banyak
para penghafal Al-Qur’an yang telah meninggal dalam medan perang sehingga
dikhawatirkan sebagian Al-qur’an akan hilang.
4. Penulisan dan
pembukuan Al-Qur’an masa Utsman bin Affan yang terkenal dengan sebutan mushaf
Utsmani ini karena banyak perbedaan dalam pembacaan Al-Qur’an di bangsa-bangsa
Islam.
5. Urutan
surat-surat dalam Al-Qur’an ini bukan didasarkan karena keinginan Nabi atau
para sahabat sendiri melainkan dari Allah melalui petunjuk Jibril.
B.
Saran
|
Lepas dari itu kami mengharapkan agar makalah
ini dapat bermanfaat bagi siapa yang membacanya.
Adnan Amal, Taufik. 2001. Rekonstruksi Sejarah
Al-Qur’an. Cet. I, Yogyakarta: Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama.
Http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Allah, Wikipedia
– Ensiklopedia Bebas (Kitab Allah), 20 September 2013.
Khalid, H.M. Rusdi. 2011. Mengkaji Ilmu-ilmu
Al-Qur’an. Cet I, Makassar: Alauddin Universiti Press.
Hamidy, Zainuddin dan Fachruddin Hs. 1979. Tafsir
Qur’an. Cet VII, Jakarta: PT.
Bumirestu.
Al-Qaththan, Manna’. Mabahits Fiy ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurat al-‘Asr
al-Hadits, t.th.).
Umar,
H. Nasaruddin, 2008. Ulumul Qur’an (mengungkap
makna-makna tersembunyi Al-Qur’an).Jakarta:Al-Gazali Centre.
Al-Qathnhan,
Syaikh Manna’. 2007. Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’a. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar.
Aminuddin, H., Drs.,
1999. Studi Ilmu Al-Qur’an. Bandung: CV Pustaka Setia.
|
[1]. http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Allah, Wikipedia – Ensiklopedia Bebas
(Kitab Allah), 20 september 2013.
[2] H. Zainuddin
Hamidy dan Fachruddin Hs.1979. Tafsir Qur’an, Cet VII, ( Jakarta: PT.
Bumirestu). XXXIII
[3] H.M. Rusdi
Khalid. 2011. Mengkaji
Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet I,
(Makassar : Alauddin Universiti Press). 55
[4] Taufik Adnan
Amal, Rekonstruksi Sejarah
Al-Qur’an, Cet. I,
(Yogyakarta; Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama), 2001, 151
[5] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi sejarah Al-Qur’an,
132
[7] Manna’ al-Qaththan, Mabahits Fiy ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits,
t.th.). 128.
[8] H. Nasaruddin Umar.2008. Ulumul Qur’an (mengungkap
makna-makna tersembunyi Al-Qur’an, (Jakarta,
Al-Gazali Centre). 152
[9] Syaikh Manna’ Al-Qathnhan.2007. Pengantar Studi Ilu Al-Qur’an, (Jakarta; Pustaka Al-Kautsar).195



0 komentar:
Posting Komentar