Bolehkah berbohong?
الحمد
لله وحده، والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحابته ومن اتبع سنته واهتدى
بهديه إلى بوم القيامة، أما بعد
Ini adalah sedikit
penjelasan untuk sebagian ikhwah yang mendiskusikan tentang berbohong apakah tidak boleh secara mutlak ataukah boleh
untuk kasus tertentu?, sebenarnya yang utama adalah kita jangan sampai menolak
salah satu dalil shohih yang tsabit dari Rosul صلى
الله عليه وسلم karena ketidakfahaman kita untuk mendudukkan dalil-dalil
tersebut.
Hadits-hadits shohih pengecualian
bolehnya berbohong pada
kasus-kasus tertentu1. Hadits Ummu Kultsum:
عن أم
كلثوم بنت عقبة أخبرته : أنها سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : ليس
الكذاب الذي يصلح بين الناس فينمي خيرا أو يقول خيرا
Artinya:
Dari Ummu Kultsum
binti Uqbah mengkhabarkan bahwa dia mendengar Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Bukanlah pendusta
orang yang mendamaikan antara manusia (yang bertikai) kemudian dia
melebih-lebihkan kebaikan atau berkata baik”. [Muttafaqun 'Alaih]
Di dalam riwayat Al
Imam Muslim ada tambahan:
ولم أسمع
يرخص في شيء مما يقول الناس كذب إلا في ثلاث الحرب والإصلاح بين الناس وحديث الرجل
امرأته وحديث المرأة زوجها
Artinya:
“Dan aku (Ummu
Kultsum) tidak mendengar bahwa beliau memberikan rukhsoh (keringanan) dari
dusta yang dikatakan oleh manusia kecuali dalam perang, mendamaikan antara
manusia, pembicaraan seorang suami pada istrinya dan pembicaraan istri pada
suaminya”.
[Dinukil dari Riyadhush
Sholihin, Bab. Al Ishlah bainan naas]
Hadits Ummu Kultsum ini
diriwayatkan juga oleh At Tirmidzi (no.2063, Maktabah Asy Syamilah) dan beliau
katakan, ‘Ini adalah Hadits
Hasan Shohih’. Dan Abu Dawud (no.4920, Baitul Afkaar Ad Dauliyah)
2. Hadits Asma’ binti Yazid
diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Sunannya yang redaksinya hampir sama dengan
hadits Ummu Kultsum
yaitu:
عَنْ
أَسْمَاءَ بِنْتِ يَزِيدَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- «
لاَ يَحِلُّ الْكَذِبُ إِلاَّ فِى ثَلاَثٍ يُحَدِّثُ الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ
لِيُرْضِيَهَا وَالْكَذِبُ فِى الْحَرْبِ وَالْكَذِبُ لِيُصْلِحَ بَيْنَ النَّاسِ
». وَقَالَ مَحْمُودٌ فِى حَدِيثِهِ « لاَ يَصْلُحُ الْكَذِبُ إِلاَّ فِى ثَلاَثٍ
». قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ لاَ نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ أَسْمَاءَ
إِلاَّ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ خُثَيْمٍ.
Artinya:
Dari Asma’ binti
Yazid dia berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم
bersabda: “Bohong itu tidak halal kecuali dalam tiga hal (yaitu) suami pada
istrinya agar mendapat ridho istrinya, bohong dalam perang, dan bohong untuk
mendamaikan diantara manusia”.
Mahmud berkata dalam
haditsnya: “Tidak boleh berbohong
kecuali dalam tiga hal”.
Abu ‘Isa (At
Tirmidzi) berkata, ‘Ini hadits
hasan, kami tidak mengetahuinya dari hadits Asma’ kecuali dari hadits Ibnu Khutsaim’. [Sunan At Tirmidzi (2064)
7/408, Maktabah Asy Syamilah]
Musykil:
Apakah hadits-hadits diatas bertentangan
dengan ayat-ayat Qur’an dan hadits-hadits yang shohih yang lain
yang memerintahkan untuk jujur dan melarang untuk berbohong?
Misalnya, Alloh تعالى berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Artinya:
“Hai orang-orang
yang beriman bertakwalah kepada Alloh, dan hendaklah kamu bersama orang-orang
yang benar”. [At Taubah:119]
Atau sabda
Rosululloh صلى الله عليه وسلم :
عن
عبدالله قال: قال رسول الله صلى الله عليه و سلم عليكم بالصدق فإن الصدق يهدي إلى
البر وإن البر يهدي إلى الجنة وما يزال الرجل يصدق ويتحرى الصدق حتى يكتب عند الله
صديقا وإياكم والكذب فإن الكذب يهدي إلى الفجور وإن الفجور يهدي إلى النار وما يزال
الرجل يكذب ويتحرى الكذب حتى يكتب عند الله كذابا
Artinya:
Dari Abdulloh dia
berkata, Rosululloh صلى الله عليه وسلم
bersabda: “Wajib atas kalian untuk jujur, sesungguhnya kejujuran itu akan
membimbing kalian menuju ke kebajikan, dan kebajikan akan membimbing menuju
surga, dan tidaklah seorang laki-laki itu jujur dan berusaha untuk jujur maka
dia akan dicatat di sisi Alloh sebagai siddiiq. Hati-hati kalian dari bohong
karena sesungguhnya bohong itu membimbing menuju kefajiran dan kefajiran
membimbing menuju ke neraka, dan tidaklah seseorang itu berbohong dan berusaha untuk berbohong maka akan dicatat
di sisi Alloh sebagai pembohong”. [HR. Muslim 105-(2607), At Tirmidzi 2099,
Ibnu Majah 3981, Malik 3627, Ahmad 3710, Ibnu Hibban 509, Al Baihaqi 21338, dan
lain-lain, Maktabah Asy Syamilah]
Jawaban:
Kalau kita
perhatikan antara ayat-ayat Qur’an dan hadits-hadits
diatas sebenarya tidak ada pertentangan. Karena memang selamanya ayat-ayat al
Qur’an dan hadits-hadits yang shohih tidak akan
bertentangan, kalaupun kita sangka ada pertentangan maka para ulama telah
menentukan beberapa metode dalam mendudukannya, yaitu:
1. Jika dimungkinkan
maka dilakukan thoriqotul jam’i yaitu menyatukan/
mengkompromikan dalil-dalil yang shohih tersebut.
2. Mengetahui nasikh
dan mansukh, yaitu dalil yang datang belakangan adalah
nasikh(penghapus) untuk dalil yang datang sebelumnya (ini disebut mansukh).
Metode ini harus dilakukan dengan kajian sejarah.
3. Dengan tarjih
yaitu menetapkan mana yang rojih(yang kuat) dan mana yang marjuh(lemah).
4. Tawaquf yaitu diam tidak
berkomentar.
Dalam kaitan dengan masalah ini maka kita dapat
memilih metode yang pertama yaitu menyatukan dan mengkompromikan semua dalil,
karena metode ini adalah metode yang didahulukan oleh para ulama agar tidak
satupun dalil yang ditolak. Ingat menolak satu hadits yang telah tetap shohihnya diantara hadits-hadits Rosul صلى الله عليه وسلم adalah sama
dengan menolak sunnah atau menolak syari’at yang dibawa oleh Rosul صلى الله عليه وسلم , dan ini adalah
berbahaya. Kecuali apabila hadits
tersebut dho’if atau maudhu’ maka kita tidak memakai hadits yang dho’if atau maudhu’ tersebut,
atau telah jelas adanya nasikh dan mansukh.
Ayat diatas surat
At Taubah:119 adalah perintah untuk jujur, ini juga berarti larangan untuk berbohong. Dan hadits
Abdulloh bin Mas’ud juga menerangkan perintah jujur dan larangan berbohong. Ini adalah hukum
asalnya. Yaitu saya tegaskan bahwa hukum asal berbohong adalah harom dan tidak boleh seorang
muslim berbohong.
Sedangkan hadits Ummu Kultsum dan hadits Asma’ adalah pengecualian untuk kasus
tertentu dan tidak boleh dimutlakkan dan diperlebar jangkauannya.
Baiklah, kita nukilkan penjelasan Al Imam An
Nawawi رحمه الله ketika mensyarah hadits Ummu Kultsum:
Al Qodhi (Iyadh) berkata, ‘Tidak ada perbedaan
dalam bolehnya berbohong
dalam bentuk seperti ini, dan mereka berbeda pendapat tentang apa maksud berbohong yang mubah di
dalamnya, apakah itu?
Segolongan ulama
mengatakan: Itu sesuai dengan kemutlakannya dan mereka membolehkan perkataan
yang tidak terdapat dalam keadaan-keadaan ini dengan alasan untuk kemaslahatan,
dan mereka mengatakan, bohong yang tercela adalah yang terdapat di dalamnya
kemadhorotan, mereka berhujjah dengan perkataan Ibrohimعليه السلام , “Sebenarnya patung yang besar Itulah yang
melakukannya” [Al Ambiyaa':63], (lalu perkataanya) “Sesungguhnya aku sakit”
[Ash Shofaat:89] dan perkataannya “Sesungguhnya dia adalah saudariku”.
Juga perkataan orang
yang menyeru Yusuf عليه السلام , “Hai
kafilah, Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang mencuri”.[Yusuf:70]
Meraka mengatakan,
tidak ada khilaf bahwa jika ada seorang dzolim akan membunuh seseorang yang
bersembunyi di sisinya, maka (orang yang melindungi) wajib untuk berbohong dan mengatakan dia
tidak mengetahui dimana orang tersebut.
Ulama yang lain berpendapat,
diantara mereka Ath Thobari, ‘Pada asalnya tidak boleh berbohong dalam sesuatupun,
adapun adanya pembolehan untuk berbohong
maka maksudnya adalah tauriyah, menggunakan ungkapan-ungkapan (diplomatis), dan
tidak terang-terangan berbohong,
misalnya memuji istrinya, berbuat baik padanya, dan akan memberikan padanya
pakaian yang demikan, jika Alloh mentaqdirkannya. Walhasil hendaklah
menggunakan kalimat-kalimat yang muhtamalah (yang mempunyai beberapa maksud
pent.), orang yang diajak bicara akan memahaminya dengan sesuatu yang
menentramkan hatinya. Jika berusaha untuk mendamaikan diantara manusia maka
menukil dari satu fihak kepada fihak yang lain dengan perkataan yang baik,
demikian juga sebaliknya dari fihak yang ini kepada fihak yang lain. Begitu juga
dalam perang dengan mengatakan, ‘Pemimpin besar kalian telah mati’, diniyatkan
untuk pemimpin mereka yang pada zaman terdahulu. Para
ulama yang berpendapat demikian menta’wilkan kisah Ibrohim, Yusuf, dan yang
semisalnya adalah kalimat-kalimat diplomatis, wallohu a’lam. Adapun
berbohongnya suami pada istrinya dan juga sebaliknya maka maksudnya adalah
menampakkan kasihsayang, janji yang tidak mengharuskan terlaksana, dan yang
seperti itu, adapun tipu muslihat untuk mencegah kewajiban suami atau istri, atau
mengakui apa yang tidak dimiliki oleh suami atau istri maka ini adalah harom
menurut kesepakatan kaum muslimin. Wallohu a’lam.
Kesimpulan:
·
Hukum asal berbohong adalah harom.
·
Pengecualian itu pada kasus
tertentu dengan ungkapan yang tidak jelas-jelas berbohong, atau diungkapkan dengan tauriyah
untuk suatu kemaslahatan.



0 komentar:
Posting Komentar