Rabu, 08 November 2017

PENGEMBANGAN KURIKULUM



A.    Latar Belakang
Kurikulum berasal dari bahasa Yunani yang semula digunakan dalam bidang olahraga yaitu currere yang berarti jarak tempuh lari, yakni jarak yang ditempuh dalam kegiatan berlari mulai dari start sampai finish.[1] Dalam bahasa arab, kurikulum diartikan dengan manhaj yakni jalan yang terang, atau jalan terang yang dilalui oleh manusia pada bidang keagamaan.
Dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang dilalui pendidik dengan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap nilai-nilai. Definisi kurikulum dalam UU Sisdiknas Nomor 20/2003 dikembangkan ke arah seperangkat rencana dan perarturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Interaksi antara pendidik dan peserta didik di arena sekolah secara beren cana dan sadar. Dalam lingkungan sekolah telah ada kurikulum formal yang bersifat tertulis. Guru-guru melaksanakan tugas mendidik secara formal, karena itu pendidikan yang berlangsung disekolah sering disebut pendidikan formal.[2] Pendidikan formal yakni pendidikan yang  memiliki rancangan pendidikan atau kurikulum tertulis yang tersusun secara sistematis, jelas dan rinci. Pendidikan dilaksanakan secara formal, terencana dan ada yang mengawasi serta menilai. Pendidikan diberikan oleh pendidik atau guru yang memiliki ilmu dan keterampilan khusus dalam bidang pendidikan. Interaksi pendidikan berlangsung dalam lingkungan tertentu dengan fasilitas dan alat serta aturan-aturan permainan tertentu pula.
Kurikulum merupakan syarat mutlak bagi pendidikan di sekolah. Bahwa kurikulum merupakan bagaian yang tak terpisahkan dari pendidikan atau pengajaran. Dilihat dalam komponen-komponen utama pendidikan, kurikulum merupakan pedoman interaksi pendidikan antara pendidik dan peserta didik berlangsung. Interaksi ini tidak berlangsung dalam ruang hampa, tetapi selalu terjadi dalam lingkungan tertentu yang mencakup antara lain lingkungan fisik, alam, sosial budaya, ekonomi, politik dan religi.
Teori kurikulum yaitu sebagai suatu perangkat pernyataan yang memberikan makna terhadap kurikulum sekolah, makna tersebut terjadi karena adanya penegasan hubungan antara unsur-unsur kurikulum, karena adanya petunjuk perkembangan, penggunaan dan evaluasi kurikulum.
Sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa merupakan hal-hal yang harus segera ditanggapi dan dipertimbangkan dalam pengambangan kurikulum pada setiap jenjang pendidikan. Pengembangan kurikulum yang dialukan harus mengantisipasi segala persoalan yang dihadapi masa sekarang dan masa yang akan datang.

B.     Konsep Kurikulum
Terdapat tiga konsep tentang kurikulum yaitu kurikulum sebagai substasi, sebagai sistem dan sebagai bidang studi. Konsep pertama, kurikulum sebagai substansi, suatu kurikulum dipandang sebagai suatu rencana kegiatan belajar bagi murid-murid di sekolah, atau sebagai suatu perangkat tujuan yang ingin dicapai. Suatu kurikulum juga dapat menunjuk kepada suatu dokumen yang berisi rumusan tentang tujuan, bahan ajar, kegiatan belajar-mengajar, jadwal dan evaluasi. Suatu kurikulum juga dapat digambarkan sebagai dokumen tertulis sebagai hasil pesertujuan bersama antara para penyususn kurikulum dan pemegang kebijaksanaan pendidikan dengan masyarakat. Kurikulum dapat mencakup lingkup tertentu, suatu sekolah, kabupaten, propinsi ataupun seluruh negara.
Konsep kedua, kurikulum sebagai suatu sistem merupakan bagian dari sistem persekolahan, sistem pendidikan, bahkan sistem masyarakat. Suatu sistem kurikulum mencakup struktur personalia dan prosedur kerja bagaimana cara menyusun suatu kurikulum, melaksanakan, mengevaluasi dan menyempurnakannya. Hasil dari suatu sistem kurikulum adalah tersusunnya suatu kurikulum, dan fungsi dari sistem kurikulum adalah bagaimana memelihara kurikulum agar tetap dinamis.
Konsep ketiga, kurikulum sebagai suatu bidang studi yaitu sebagai suatu kajian para ahli kurikulum dan ahli pendidikan dan pengajaran. Tujuan kurikulum sebagai suatu bidang studi adalah mengembangkan ilmu tentang kurikulum dan sistem kurikulum. Orang yang mendalami bidang kurikulum mempelajari konsep-konsep dasar tentang kurikulum. Melalui studi kepustakaan dan berbagai kegiatan penelitian dan percobaan, menemukan hal-hal baru yang dapat memperkaya dan memperkuat bidang studi kurikulum.[3] Para ahli teori kurikulum juga dituntut untuk:
1.      Mengembangkan definisi-definisi diskriptif dan preskriptif dari istilah-istilah teknis.
2.      Mengadakan klasifikasi tentang pengetahuan yang telah ada dalam pengetahuan-pengetahuan baru.
3.      Melakukan penelitian inferensial dan prediktif.
4.      Mengembangkan sub-sub teori kurikulum, mengembangkan dan melaksanakan model-model kurikulum. 
Dalam undang-undang dinyatakan bahwa kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didikdan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dsn jenjang masing-masing suatu pendidikan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penyusunan suatu kurikulum, ialah:[4]
1.      Tujuan pendidikan nasional perlu dijabarkan menjadi tujuan–tujuan institusional, selanjutnya dirinci menjadi tujuan kurikuler yang pada gilirannya dirumuskan menjadi tujuan-tujuan instruksional (umum dan khusus) yang mendasi perencanaan pembelajaran.
2.      Tahap perkembangan peserta didik merupakan landasan psikologis yang mencakup psikologi perkembangan dan psikologi belajar yang mengacu pada proses pembelajaran.
3.      kesesuaian dengan lingkungan menunjuk pada landasan sosiologis atau lingkungan sosial masyarakat dibarengi oleh landasan bioekologis dan kultur ekologis.
4.      Kebutuhan pembangunan nasional yang mencakup pengembangan sumber daya manusia dan pembangunan semua sektor ekonomi.
5.      Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologis serta kesesuaian merupakan landasan budaya bangsa dengan multi dimensionalnya.
6.      Jenis dan jenjang suatu pendidikan merupakan landasar organisatoris dibidang pendidikan. Jenis pendiddikan adalah pendidikan yang dikelompokkan sesuai dengan sifat dan kekhususuan tujuannya.
C.     Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum
Kurikulum sebagai suatu sistem keseluruhan memiliki komponen-komponen yang berkaitan satu dengan yang lainnya, yakni tujuan, materi, metode, organisasi dan evaluasi. Komponen-komponen tersebut baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama menjadi dasar utama dalam upaya mengambangkan sistem pembelajaran.
Kurikulum sebagai program pendidikan yang telah direncanakan secara sistematis, mengemban peranan yang sangat penting bagi pendidikan siswa. Ada tiga jenis peranan kurikulum yang dinilai sangat penting yakni peranan konservatif, peranan kritis dan evaluatif dan peranan kreatif. Disamping memiliki peranan, kurikulum juga memiliki fungsi. Fungsi kurikulum yaitu penyesuaian, pengintegrasian, peferensiasi, persiapan, pemilihan dan diagnostik.
Pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan sebagai satu disiplin ilmu perlu bahkan seharusnya mendapat perhatian secara khusus dan menempati kedudukan dan fungsi sentral dalam sistem pendidikan, berdasarkan pertimbangan-pertimbngan secara mutidimensional, sebagai berikut:[5]
1.      Kebijakan Nasionan dalam rangka pembangunan nasional sebagai upaya meralisasi butir-butir ketetapan dalam GBHN, khususnya yang berkenaan dengan sistem pendidikan nasional.
2.      Kebijakan-kebijakan dalam bidang pendidikan dalam rangka merealisasikan undang-undang No. 2 tahun 1989 yang menyebutkan bahwa kurikulum menempati kedudukan sentral.
3.      pengembangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sinkron dengan kebutuhan pembangunan dan memenugi keperluan sistem pendidikan dalam upaya memanfaatkan, mengambangkan dan menciptakan IPTEK.
4.      Kebutuhan, tuntutan, aspirasi dan masalah dalam sistem masyarakat yang bersifat dinamis, dan berubah dengan cepat dewasa ini dan masa datang.
5.      Profesionalisasi dan fungsionalisasi ketenagaan bidang pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan yang berkualitas dan mampu bekerjasama dengan unsur-unsur ketenagaan profesi lainnya.
6.      Upaya pembinaan disiplin ilmu pengembangan kurikulum dan teknologi pendidikan yang berkaitan dengan upaya pembinaan disiplin ilmu lainnya, serta pembinaan ilmu pendidikan khususnya.
D.    Sumber-sumber Kurikulum
Menurut Herrick ada tiga macam sumber kurikulum yaitu pengetahuan, masyarakat serta idividu yang dididik.[6] Pertama, pengetahuan merupakan bahan yang akan disampaikan kepada anak. Pengetahuan ini berasal dari berbagai bidang studi. Hal itu menimbulkan kesulitan dalam penyususnan kurikulum, dalam memilih pengetahuan mana dan bidang studi mana yang akan diajarkan. Sehingga dalam pemilihan pengetahuan tersebut dibutuhkan kerjasama antara pendidik, para sarjanan bidang studi dan tokoh masyarakat serta para orang tua.
Kedua, masyarakat sebagai sumber kurikulum. Sekolah merupakan agen masyarakat dalam meneruskan warisan-warisan budaya serta memecahkan masalah-masalah masyarakat. Sebab persoalan yang dihadapi dalam menyusun kurikulum adalah dalam menentukan nilai-nilai mana yang perlu dipilih dan dikembangakan bagi masyarakat yang akan datang.
Ketiga, individu yang dididik sebagai sumber kurikulum. Kurikulum disusun dengan maksud membantu perkembangan anak seoptimal mungkin. Setiap individu anak mempunyai kemampuan, sifat-sifat serta kebutuhan yang berbeda, oleh karena itu kurikulum harus disusun agar sesuai atau dapat melayani kemampuan, sifat dan kebutuhan.  Beberapa kemampuan yang perlu diperhatikan dalam penyusunan kurikulum adalah kecerdasan, bakat dan kecakapan, kebutuhan emosional dan sosial.
E.     Kondisi Pengembangan Kurikulum Dilakukan
Kegiatan pengembangan kurikulum dapat dilaksanakan pada berbagai kondisi atau setting, mulai dari tingkat kelas sampai dengan tingkat nasional. Kondisi-kondisinya yaitu:
  1. Pengembangan kurikulum oleh guru kelas
  2. Pengembangan kurikulum oleh sekelompok guru dalam suatu sekolah
  3. Pengembangan kurikulum melalui pusat guru
  4. Pengembangan kurikulum pada tingkat daerah
  5. Pengembangan kurikulum dalam/melalui proyek nasional
F.      Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum
Prinsip-prinsip umum dalam pengembangan kurikulum.[7] Pertama, prinsip relevansi. Ada dua macam relevansi yang harus dimiliki kurikulum yaitu relevan keluar dan relevan di dalam kurikulum itu sendiri. Relevan ke luar maksudnya tujuan, isi dan proses belajar yang tercakup dalam kurikulum hendaknya rekevan dengan tuntutan, kebutuhan, dan perkembagan masyarakat. Kurikulum relevan di dalam yaitu ada kesesuaian atau konsistenais antara komponen-komponen kurikulum, yaitu antara tujuan, isi, proses penyampaian dan penilaian. Relevansi internal ini menunjukkan keterpaduan kurikulum
Prinsip kedua yakni flesibilitas, kurikulum hendaknya memiliki sifat lentur dan fleksibel. Kurikulum mempersiapkan anak untuk kehidupan sekarang dan yang akan datang, disini dan di tempat lain, bagi anak yang memiliki latar belakang dan kemampuan yang berbeda. Kurikulum yang baik itu berisi hal-hal solid namun ada penyesuaian berdasarkan daerah, waktu maupun kemampuan dan latar belakang anak.
Prinsip ketiga adalah kontinuitas yakni berkesinambungan. Perkembangan dan proses belakar anak berlangsung secara berkesinambungan. Sehingga harus menyediakan kurikulum yang hendaknya juga berkesinambungan antara stu tungkat kelas dengan kelas yang lainnya, antara satu jenjang pendidikan dengan jenjang lainnya. Oleh sebab itu, perlu adanya kerja sama dalam pengembangan kurikulum antara para pengembang kurikulum sekolah dasar dengan SMP, SMA serta Perguruan Tinggi.
Prinsip keempat yaitu praktis, mudah dilaksanakan, menggunakan alat-alat sederhana dan biaya yang juga murah. Prinsip ini disebut juga prinsip efisiensi. Betapa bagus dan idealnya suatu kurikulum kalau menuntut keahlian-keahlian dan peralatan yang sangat khusus dan mahal pula biayanya, maka kurikulum tersebut tidak praktisdan sukar dilaksanakan. Prinsip kelima yakni efektifitas, meskipun kurikulum tersebut harus murah dan sederhana tetapi keberhasilannya tetap harus diperhatikan. Keberhasilan secara kuantitas maupun kualitas.
Ada beberapa prinsip yang lebih khusus dalam pengembangan kurikulum. Prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan, berkenaan dengan pemilihan isi pendidikan, berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar, berkenaan dengan pemilihan media dan alat pembelajaran seta berkenaan dengan pemilihan kegiatan penilaian.
G.    Model-model Pengembangan Kurikulum
Sekurang-kurangnya ada delapan model pengembangan kurikulum:[8]
  1. The administrative model: model paling lama dan paling banyak dikenal. Diberi nama model administrative karena inisiatif dan gagasan pengembangan datang dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Karena sifatnya yang datang dari atas, model pengembangan kurikulum ini disebut juga model “top down” atau “line staff”.
  2. The grass roots model: lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya pengembangan kurikulum bukan berasal dari atas tai dari bawah yaitu guru-guru atau sekolah. Model grass roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat desentralisasi.
  3. Beauchamp’s system: dikembangkan oleh Beauchamp seorang ahli kurikulum. Lima hal dalam pengembangan kurikulum yaitu menetapkan arena atau lingkup wilayah, menetapkan personalia (para ahli kurikulum, para ahli pendidikan, para profesional dalam sistem pendidikan, dan tokoh masyarakat), organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum, dan implementasi kurikulum.
  4. The demonstration model: pada dasarnya bersifat grass roots. Model ini umumnya berskala kecil, hanya mencakup suatu atau beberapa sekolah, suatu komponen kurikulum atau mencakup keseluruhan komponen kurikulum.
  5. Taba’s inverted model: ada lima langkah pengembangan kurikulum model Taba ini yaitu mengadakan unit-unit eksperimen bersama guru-guru, menguji unit eksperimen, mengadakan revisi dan konsolidasi, pengembangan keseluruhan kerangka kurikulum, inplementasi dan diseminasi.
  6. Roger’s interpersonal relations model: empat langkah pengembangan kurikulum yaitu pemilihan target dari sistem pendidikan, partisipasi guru dalam pengalaman kelompok yang itensif, pengembangan pengalaman kelompok yang itensif untuk satu kelas atau unit pelajaran, partisipasi orang tua dalam kegiatan kelompok.
  7. The systematic action-research model: model kurikulum ini didasarkan pada asumsi bahwa perkembangan kurikulum merupakan perubahan sosial. Hal itu mencakup suatu proses yang melibatkan kepribadian orang tua, siswa, guru, struktur sistem sekolah, pola hubungan pribadi dan kelompok sari sekolah dan masyarakat.



[1] Muhaimin. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Rajawali Press. 2012). 1.
[2] Nana Syaodih Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2005). 2.
[3] Ibid. 27.
[4] Oemar Hamalik. Manajemen Pengembangan Kurikulum. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2006). 92.
[5] Ibid. 97-98.
[6] Ibid. 99.
[7] Nana Syaodih Sukmadinata. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2005). 150-151.
[8] Ibid. 161-170.

Makalah penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an




 
BAB I
PENDAHULUAN
A.              Latar Belakang
Al-Qur’ān ( Arab, Al-Qur’an: القرآن) merupakan kitab suci Agama Islam yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril. Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman, dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-'Alaq ayat 1-5.
Al-Qur'an tidak diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW secara sekaligus melainkan ayat-ayat al-Qur'an diturunkan secara berangsur-angsur, ayat demi ayat, surat demi surat yang memakan waktu selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Masa turunnya Al-Qur’an ini dibagi menjadi 2 periode: yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah Al-Qur’an diturunkan berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah Al-Qur’an diturunkan dimulai sejak peristiwa hijrah Rasulullah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah. Ilmu Al-Qur'an yang membahas mengenai latar belakang atau sebab-sebab suatu atau beberapa ayat Al-Qur'an diturunkan disebut Asbabun Nuzul (Sebab-sebab Turunnya (suatu ayat).
1
 
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ayat Al-Qur’an tidak dibukukan seperti saat ini. Mealainkan ayat-ayat Al-Qur’an ditulis pada pelepah kurma, batu tipis, tulang dan sebagainya, disamping itu banyak pula yang menghafalkannya. Betapa pentingnya Al-Qur’an bagi seluruh umat Muslim di dunia dan akan tetap terjaga dari kesalahan sampai hari akhir dirasa sangat perlu untuk membukukan Al-Qur’an dalam satu mushaf seperti saat ini. Apabila Al-Qur’an tidak dibukukan apalagi pada zaman nabi serta sahabat banyak terjadi peperangan besar banyak diantara orang-orang yang hafal Al-Qur’an mati syahid, akibatnya dikhawatirkan sebagian dari Al-Qur’an akan hilang. Oleh karena itu kami akan membahas penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an dimulai dari  masa Nabi Muhammad SAW hingga sampai masa para sahabat (Khulafaur Rasyidin).

B.               Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah sehingga terbentuknya makalah yakni:
1.      Apa penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an itu?
2.      Bagaimana kronologis penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an masa Nabi Muhammad SAW ?
3.      Bagaimana kronologis penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an pada masa Sahabat Rasulullah?
4.      Apa yang dimaksud Ilmu Rasmul Al-Qur’an?

C.               Tujuan Penulisan
1.      Agar mengetahui sejarah penulisan Al-Qur’an
2.      Agar mengetahui sejaran pengumpulan Al-Qur’an
3.      Agar mengetahui Ilmu Rasmul Al-Qur’an



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Penulisan dan Pengumpulan Al-Qur’an
Al-Qur`an merupakan kumpulan firman atau wahyu yang diberikan Allah SWT sebagai satu kesatuan kitab kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman hidup bagi seluruh umat muslim. Menurut syariat Islam, kitab ini dinyatakan sebagai kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, selalu terjaga dari kesalahan, dan merupakan tuntunan membentuk ketaqwaan manusia.[1] Kumpulan firman (ayat-ayat Al-Qur’an) tersebut juga dikenal dengan Istilah Mushaf atau kumpulan dari suhuf-suhuf atau lembaran-lembaran tertulis yang disatukan.
Dalam kaitannya dengan sejarah penulisan naskah Al-Qur’an secara keseluruhan naskah Al-Qur’an telah dituliskan sejak masa Nabi Muhammad SAW ketika masih hidup. Malaikat jibril setiap satu tahunnya menyuruh Nabi Muhammad SAW mengulang membaca Al-Qur’an yang telah diturunkan dari awal sampai akhir, sedang di tahun Nabi akan meninggal dunia, hal ini dilakukan dua kali. Dengan ini nyatalah bahwa susunan ayat-ayat dalam satu surat dan susunan surat itu telah ditentukan oelh Nabi berdasarkan petunjuk Jibril,[2] dan kemudian terjaga melalui penyampaian lisan. Istilah yang dikenal dengan penulisan naskah Al-Qur’an pada zaman Nabi adalah “Jam’u Al-Qur’an” yakni mengumpulkan Al-Qur’an sebagai satu kesatuan, dan hal ini dilakukan melalui dua cara, yaitu :
1.      Mengumpulkan Al-Qur’an dalam Dada.
3
 
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi yang ummi. Karena itu, perhatian Nabi hanya untuk sekedar menghafal dan menghayatiya, agar ia dapat menguasai Al-Qur’an persis sebagaimana Al-Qur’an yang diturunkan. Setelah itu, beliau membacakan kepada umatnya sejelas mungkin agar mereka pun dapat menghafal dan memantapkannya. Hal ini karena Nabi diutus dikalanngan orang-orang yang ummi (tidak bisa baca tulis).
Allah berfirman yang artinya:
    
“Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.”
(Q.S. Al-Jumu’ah:2)
2.      Mengumpulkan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan
Keistimewaan yang kedua dari Al-Qur’an ialah pengumpulan dan penulisannya dalam bentuk lembaran-lembaran, atau dalam bentuk sebuah mushaf. Sesungguhnya penulisan Al-Qu’an dalam bentuk teks sudah dimulai sejak zaman Nabi saw dan jarang didapatkan, karena pada zaman itu mereka kebanyaknya mengandalkan kepada hafalan bukan kepada tulisan. Kemudian sedikit demi sedikit mulai didapatkan perobahan Al-Qur’an dari hafalan ke tulisan dan perobahan Al-Qur’an menjadi teks terus dijumpai dan dilakukan sampai pada zaman khalifah Utsman bin Affan ra
Oleh sebab itu, istilah “Jam’u Al-Qur’an” dalam pengertian klasik mempunyai berbagai makna, seperti menghafal Al-Qur’an, menulis kembali setiap wahyu turun, mengumpulkan bahan-bahan Al-Qur’an yang telah dituliskan, mengumpulkan laporan dari orang-orang yang telah menghafalnya, dan mengumpulkan bahan-bahan yang telah ada, baik verbal atau tulisan.
Sejak awal pewahyuan Al-Qur’an hingga menjadi sebuah mushaf, telah melalui proses panjang. Mulai dari Ayat yang pertama turun sampai ayat yang terakhir turun, benar-benar terjaga kemurniaanya. Upaya untuk menjaga dan memelihara ayat-ayat agar tidak terlupakan atau terhapus dari ingatan terus-menerus dilakukan. Upaya-upaya tersebut dengan cara yang sederhana yaitu Nabi menghafal ayat-ayat itu dan menyampaikannya kepada para sahabat yang kemudian juga menghafalnya sesuai dengan yang disampaikan Nabi. Upaya kedua yang dilakukan Umat Islam dalam upaya pemeliharaan Al-Qur’an adalah mencatat atau menuliskannya dengan persetujuan Nabi.[3]

B.               Penulisan dan Pengumpulan Al-Qur’an Masa Nabi Muhammad SAW
Pada masa Nabi Muhammad SAW penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melalui dua cara yakni hafalan dan penulisan dalam lembaran (shuhuf). Rasulullah SAW juga menghafal Al-Qur’an dan dipandu langsung oleh malaikat Jibril dalam sekali setahun. Disaat Rasulullah telah faham dan hafal, kemudian beliau memberikan dan membacakannya kepada sahabat untuk menghafalkan dan mengingat juga ayat demi ayat Al-Qur’an. Nabi Muhammad SAW juga sering memberikan ulangan kepada para sahabat dan menyuruh untuk membacakan Al-Qur’an dihadapan beliau dengan tujuan membetulkannya jika terjadi kesalahan.  Begitu kuatnya Nabi SAW untuk mengingat dan menghafal setiap wahyu yang telah diterimanya, sehingga sahabat Nabi menghafalkannya dan berlangsung sampai penghabisan turunya wahyu.
Nabi Muhammad SAW merupakan “Sayyid Al-Huffazd” atau penghulu dari penghafal Al-Qur’an. Beliau juga menjadi tempat bertanya bagi kaum muslim yang kesulitan tentang Al-Qur,an. Para sahabat pun berlomba-lomba dalam menghafal Al-Qur’an sehingga semakin banyak yang menghafal Al-Qur’an sebagian bahkan seluruhnya.
Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi didorong dengan dua faktor :
1.      Memback-up hafalan yang telah dilakukan Nabi dan para sahabatnya.
2.      Mempresentasikan wahyu dengan cara sempurna.
Pada umumnya masyarakat muslim pada masa Nabi belum ada yang bisa menulis dan membaca. Tapi, tidak menutup kemungkinan tidak adanya yang bisa membaca serta menulis diantara mereka. Ada beberapa diantara mereka yang sudah bisa membaca dan menulis terutama suku Quraisy sebelum Nabi diutus menjadi Rasul, seperti Zaid bin Tsabit dari orang-orang yang berada di Madinah. Setelah datangnya Islam, orang-orang yang mampu baca tulis memperoleh perhatian khusus dari Nabi SAW. Ini dari pemanfaatan tawanan perang yang diharuskan oleh Nabi memberikan pengajaran menulis kepada para sahabat. Kemudian ketika sudah banyak sahabat yang bisa membaca dan menulis. Nabi Muhammad SAW merasa Al-Qur’an tidak cukup hanya dengan dihafal melainkan juga harus ditulis. Dengan demikian akan lebih terjaga karena ada dua cara dalam memelihara serta menjaga keutuhan Al-Qur’an yaini dalam dada (Hafalan) dan tulisan. Sejak saat itu sahabat beramai-ramai menulis Al-Qur’an dengan disaksikan Rasulullah sendiri.
            Tentang penulisan wahyu di masa Rasulullah ada beberapa orang yang khusus ditunjuk untuk menuliskan Al-Qur’an. Mereka di kenal sebagai penulis wahyu yakni Abu Bakar, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas-’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Khalid bin Walid, Aban bin Sa’id, Mu’awiyah bin Abu Sofyan, Zubair bin Awwam, Handholah bin Ar-Robi, Al-Asadi, Muatqid bin Fatimah, Abdullah bin Arqam, Tsabit bin Qais, Thalhah bin Ubaidillah, Sa’ad bin Abi Waqas, Amir bin Fuhairah, Hudzaifah bin Al-Yaman, Mughiroh bin Asy-Syu’ban, Amru bin ‘Ash dan lain-lain. Terdapat informasi yang cukupekstensif mengenai bahan-bahan yang digunakan sebagai media untuk menuliskan wahyu yang turun dari langit melalui Muhammad SAW. Dalam suatu catatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang ketika itu digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan Allah kepada Muhammad,[4] yaitu:
1.      Riqa, atau lembaran lontar atau perkamen;
2.      Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara horizontal lantaran panas;
3.      ‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis;
4.       Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta;
5.       Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta;
6.       Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan utama untuk menulis ketika itu.
Pembukuan Al-Qur’an dilakukan secara tersusun berdasarkan Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas dari Utsman bin Affan bahwa apabila diturunkan kepada Nabi suatu wahyu, ia memanggil sekretaris untuk menuliskannya, kemudian bersabda “letakkanlah ayat ini dalam surat yang menyebutkan begini atau begitu”.[5] Pembukuan Al-Qur’an tersebut tidak disusun berdasarkan kronologis turunnya wahyu. Seperti yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit ra, ia berkata :
كُناَّ عِنْدَ رَسُوْلِ الله ِ نُؤَلِّفُ الْقُرْآنَ مِنَ الرِّقاَع
“Kami di sisi Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, meng-umpulkan Al-Qur’an dari kulit”.
Para penulis wahyu itu diperintahkan oleh Rasulullah untuk menulis wahyu yang diterimanya dan peletakan urutan-urutannya sesuai dengan petunjuk Nabi Muhammad SAW berdasarkan petunjuk Allah SWT melalui Jibril. Kemudian semua ayat-ayat Al-Qur’an yang telah ditulis di hadapan Nabi SAW di atas benda yang bermacam-macam itu disimpan di rumah Nabi dalam keadaan masih terpencar-pencar, ayat-ayat belum dihimpun dalam suatu mushaf atau shuhuf Al-Qur’an. Di samping itu para penulis wahyu secara pribadi membuat naskah dari tulisan ayat-ayat Al-Qur’an tersebut untuk mereka simpan masing-masing. Shuhuf Al-Qur’an yang disimpan di rumah Nabi Saw dan diperkuat dengan naskah-naskah Al-Qur’an yang dibuat oleh para penulis wahyu untuk pribadi mereka sendiri serta ditopang dengan hafalan para sahabat yang tidak sedikit jumlahnya. Maka semuanya dapat menjamin Al-Qur’an agar tetap terpelihara secara lengkap dan murni.

C.               Penulisan dan Pengumpulan Al-Qur’an Masa Sahabat
1.                 Masa Abu Bakar
Pada dasarnya, Al-Qur’an sudah ditulis pada masa Nabi Muhammad masih hidup. Akan tetapi kondisi ayat-ayatnya ditulis masih terpencar-pencar. Ketika Nabi wafat, kaum  uslimin mengangkat Abu Bakar menggantikan Rasulullah menjadi khalifah pertama ketika masa permulaan.
Pada masa pemerintahan Abu Bakar timbullah keinginan untuk mengumpulkan Al-Qur’an menjadi satu mushaf. Usaha pengumpulan Al-Qur’an ini timbul ketika terjadi perang Yamamah pada tahun 12 H yang menyebabkan sebagian orang- orang yang hafal Al-Qur’an mati Syahid. Hal inilah yang menjadi pemikiran Umar bin Khattab, betapa besar kerugiannya bila huffazhul Qur’an itu banyak yang meninggal di medan pertempuran.
Umar bin Khattab mengingatkan Khalifah akan bahaya yang mengancam Al-Qur’an. Kemudian beliau berpendapat agar khalifah mengambil langkah-langkah untuk mengumpulkan Al-Qur’an menjadi suatu mushaf. Umar kemudian bermusyawarah dengan Abu Bakar akan pendapatnya untuk mengumpulkan Al-Qur’an. Pada Mulanya Khalifah menolak pendapat itu, karena tidak pernah dilakukan Rasulullah semasa hidupnya. Namun Umar menyakinkan bahwa usaha itu amat baik dan sangat diperlukan.
 Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Dalam melaksanakan tugasnya Zaid kriteria yang ketat untuk setiap ayat yang dikumpulkna. Ia tidak akan menerima ayat yang hanya berdasarkan hafalan tanpa didukung dengan tulisan. Sikap kehati-hatian Zaid dalam mengumpulkan Al-Qur’an ini didasarkan atas pesan Abu Bakar: ” Duduklah kalian di pintu masjid. Siapa yang datang kepada kalian membawa catatan Al-Qur’an dengan dua saksi, maka catatlah”.[6]  Dua saksi yang dimaksud ialah :
1.      Harus diperoleh secara tertulis oleh seorang sahabat.
2.      Harus dihafal oleh slah seorang dari kalangan sahabat.
Zaid bin Tsabit bisa menyelesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, tepatnya pada tahun 13 H. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya dan setelah umar wafat, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafshah yang juga istri Nabi Muhammad.
a.       Beberapa keistimewaan Mushaf Abu Bakar
Lembaran-lembaran yang dikumpulkan dalam satu mushaf pada masa Abu Bkar memiliki beberapa keistimewaan yang terpenting:
1)      Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat mendetail dan kemantapan yang sempurna.
2)      Yang tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan yang pasti, tidak ada naskah bacaannya.
3)      Ijma umat terhadap mushaf tersebut secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah ayat-ayat Al-Qur’an.
4)      Mushaf mencakup qiraat sab’ah yang dinukil berdasarkan riwayat yang benar-benar sahih.

2.                 Masa Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke – 3 yaitu Utsman bin Affan, timbul hal-hal yang menyadarkan beliau untuk memperbanyak naskah mushaf dan mengirimkannya ke kota-kota dalam wilayah negara Islam. Akan tetapi, tumbullah perbedaan dalam menbaca Al-Qur’an karena perbedaan bahasa bangsa-bangsa Islam. Perselisihan dalam membaca Al-Qur’an sudah cukup serius sehingga Khudzaifah melaporkan kepada khalifah Utsman dan mendesaknya agar mengambil langkah  guna mengakhii perbedaan yang terjadi.
Itulah sebabnya Khalifah Utsman berfikir serta merencanakan untuk mengambil langkah-langkah positif sebelum perbedaan bacaan Al-qur’an semakin meluas. Usaha Awal yakni mengumpulkan para sahabat yang alim dan jenius seta mereka terkenal pandai memadamkan dan meredakan persengketaan itu. Akhirnya mereka sepakat menerima instruksi Utman yaitu membuat mushaf Hal ini menimbulkan kekhawatiran  Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku.
Mereka sepakat dalam menerima instruksi Ustman, yakni ‘Utsman mengirim utusan kepada Hafshah guna meminjam Mushaf yang terwariskan dari ‘Umar. Dari Mushhaf  tersebut, lalu dipilihnya tokoh andal dari kalangan senior sahabat untuk memulai rencananya. Pilihannya jatuh kepada Zayd bin Stabit, ‘Abdullah bin Zubayr, Sai‘id bin ‘Ash dan ‘Abdurrahman bin Hisyam mereka dari suku Quraisy, golongan Muhajirin, kecuali Zayd bin Tsabit, ia golongan Anshar. Usaha yang mulia ini berlangsung pada tahun 24 H. Sebelum memulai tugas ini, ‘Utsman berpesan kepada mereka :
إِذَا اِخْتَلَفْتُمْ اَنْتُمْ وَزَيْدٌ بِنْ ثَابِتْ فِى شَيْئٍ، فَكْتُبُوْهُ بِلِسِانِ قُرَيْشٍ، فَإِنَّهُ إِنَّمَا نَزَّلَ بِلِسَانِهِمْ
Terjemahnya : Jika kalian berselisih pendapat dalam qira’ah dengan Zayd bin Stabit, maka hendaklah kalian menuliskannya dengan lughat Quraisy, karena sesungguhnya Alquran diturunkan dengan bahasa mereka.[7]
Setelah memahami pesan di atas, tim ini bekerja dengan ekstra hati-hati dan teliti, yang kemudian melahirkan satu mushaf  yang  dianggap sempurna  Bersamaan dengan standardisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten yang menjadikan perselisihan di antara umat Islam pada masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini.
Terdapat banyak perdebatan mengenai sistematika pengurutan surat dan ayat dalam Al-Qur’an, apakah taqifi atau taufiqi sejak dahulu dan perdebatan tersebut belumberakhir hingga saat ini. Pendapat pertama, bahwa Al-Qur’an  merupak hasil tauqif Nabi artinya susunan serta urutan surat didapat melalui ajaran beliau.[8] Pendapat yang kedua, pandangan yang mengatakan bahwa urutan surat Al-Qur’an adalah berdasarkan Ijtihad sahabat. Pendapat ini disandarkan pada banyaknya mushaf yang dimiliki oleh sahabat yang berbeda, ada yang tertib urutannya seperti mushaf yang dikenal saat sekarang ini, ada pula yang tertibnya berdasarkan kronologis turunnya ayat. Pendapat yang kedua ini juga diperkuat oleh Teks Hadist Mutawatir mengemukakan mengenai turunnya Al-Qur’an dengan tujuh huruf. Rasulullah saw. Bersabda. “Jibril membacaka kepadaku dengan satu huruf. Kemudian berulang kali aku meminta agar huruf itu ditambah, iapun menambahkannya kepadaku hingga tujuh huruf”[9]
Pada mulanya penulisan huruf-huruf Al-Qur’an tidak diberi tanda titik dan garis, tetapi tidak mengelirukan dalam membacanya. Namun setelah perkembangan Islam meluas keluar tanah Arab, maka bagi orang-orang yang bukan bangsa Arab akan susah dalam membacanya dan mungkin mengelirukan. Yang pertama membuat baris itu dan pembubuhan tanda syakal berupa fathah, dhamah, dan kasrah dengan titik yang warna tintanya berbeda dengan warna tinta yang dipakai pada mushaf, yakni Abu Aswad Dauli di masa Khalifah Muawiyah. Pada masa Daulah Abbasiyah, yang memulai memberi titik untuk membedakan huruf-huruf yang sama bentuknya dan tanda syakal diganti. Tanda dhamah ditandai dengan dengan wawu kecil di atas huruf, fathah ditandai dengan alif kecil di atas huruf, dan kasrah ditandai dengan ya` kecil di bawah huruf.

3.                 Perbedaan Mushaf Abu Bakar dan Utsman
Pengumpulan mushaf pada masa Abu Bakar adalah bentuk pemindahan dan penulisannya Al-Qur’an ke dalam satu mushaf yang ayat-ayatnya sudah tersusun, berasal dari tulisan yang terkumpul pada kepingan–kepingan batu, pelepah kurma dan kulit-kulit binantang. Latar belakangnya karena banyaknya huffaz yang gugur. Sedangkan pengumpulan mushaf masa Usman adalah menyalin kembali mushaf yanng telah disusun pada masa Abu Bakar dengan tujuan dikirimkan ke negara-negara Islam. Latar belakangnya karena perbedaan dalam hal membaca Al-Qur’an.

D.              Ilmu Rasmul Al-Qur’an
Ilmu Rasmul Al-Qur’an adalah ilmu yang mempelajari tentang cara penulisan mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafadz-lafadz maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakannya.
Mushaf Usmani atau Rasmul Usmani adalah penulisan Al-Qur’an yang dilakukan pada masa Khalifah Ustman bin Affan dengan berpedoman pada mushaf yang terdapat pada Khafsoh serta hafalan para sahabat.
Para ulama menjelaskan beberapa kaidah yang berlaku dalam penulisan mushaf Usmani, yaitu:
1.      Al-Hadzf (membuang,menghilangkan, atau meniadakan huruf)
2.      Al-Jiyadah (penambahan)
3.      Al-Hamzah
4.      Badal (penggantian), seperti alif ditulis dengan wawu sebagai penghormatan.
5.      Washal dan Fashal (penyambungan dan pemisahan)
6.      Kata yang dapat dibaca dua bunyi.


 
BAB III
PENUTUP
A.              Kesimpulan
Dari uraian di atas tentang penulisan dan pembukuan Al-Qur’an dapat disimpulkan menjadi beberapa hal yaitu sebagai berikut :
1.      Bahwa penulisan  dan pembukuan Al-Qur’an dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama pada masa Nabi dan Tahap yang kedua pada masa Sahabat yakni Abu Bakar As Shidiq dan Utsman bin Affan.
2.      Penulisan dan Pembukuan Al-Qur’an pada masa Nabi masih dalam bentuk lembaran-lembaran dan masih terpencar-pencar. Penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi didorong dengan dua faktor : a) Memback-up hafalan yang telah dilakukan Nabi dan para sahabatnya. b) Mempresentasikan wahyu dengan cara sempurna.
3.      Penulisan dan Pembukuan Al-Qur’an pada masa Abu Bakar yakni pebentukan Mushaf karena banyak para penghafal Al-Qur’an yang telah meninggal dalam medan perang sehingga dikhawatirkan sebagian Al-qur’an akan hilang.
4.      Penulisan dan pembukuan Al-Qur’an masa Utsman bin Affan yang terkenal dengan sebutan mushaf Utsmani ini karena banyak perbedaan dalam pembacaan Al-Qur’an di bangsa-bangsa Islam.
5.      Urutan surat-surat dalam Al-Qur’an ini bukan didasarkan karena keinginan Nabi atau para sahabat sendiri melainkan dari Allah melalui petunjuk Jibril.

B.               Saran
14
 
Setelah melalui studi pustaka dan diskusi kelompok maka selesailah makalah yang telah kami buat. Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan isi itu tidaklah lepas dari fitrah manusia yang jelas bahwa manusia itu tidak luput dari rasa lupa dan salah. Disini kami mengharapkan bagi para pembaca untuk memberikan respon yang sangat besar kepada makalah kami, apabila terdapat kesalahan. Agar kami bisa mengerjakan yang lebih baik dari makalah ini. Banyak kekurangan dalam isi makalah yang kami buat. Sehingga kami perlu banyak bimbingan dari para pembaca.
Lepas dari itu kami mengharapkan agar makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa yang membacanya.

DAFTAR PUSTAKA

Adnan Amal, Taufik. 2001. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Cet. I, Yogyakarta: Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama.
Http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_AllahWikipedia – Ensiklopedia Bebas (Kitab Allah), 20 September 2013.
Khalid, H.M. Rusdi. 2011. Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Cet I, Makassar: Alauddin Universiti Press.
Hamidy, Zainuddin dan Fachruddin Hs. 1979. Tafsir Qur’an. Cet VII, Jakarta: PT. Bumirestu.
Al-Qaththan, Manna’. Mabahits Fiy ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, t.th.).
Umar, H. Nasaruddin, 2008. Ulumul Qur’an (mengungkap makna-makna tersembunyi Al-Qur’an).Jakarta:Al-Gazali Centre.
Al-Qathnhan, Syaikh Manna’. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’a. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
            Aminuddin, H., Drs., 1999. Studi Ilmu Al-Qur’an. Bandung: CV Pustaka Setia.
16
 
            Ahmad Syadali, H., Drs., M.A., dan Drs. H. Ahmad Rofi’i. 1997. Ulumul Quran II. Bandung: CV Pustaka Setia


[1]. http://id.wikipedia.org/wiki/Kitab_Allah, Wikipedia – Ensiklopedia Bebas (Kitab Allah), 20 september 2013.
[2] H. Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs.1979. Tafsir Qur’an, Cet VII, ( Jakarta: PT. Bumirestu). XXXIII
[3] H.M. Rusdi Khalid. 2011. Mengkaji Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Cet I, (Makassar : Alauddin Universiti Press). 55
[4] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Cet. I, (Yogyakarta; Penerbit Forum Kajian Budaya dan Agama), 2001,  151
[5] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi sejarah Al-Qur’an, 132
[7] Manna’ al-Qaththan, Mabahits Fiy ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, t.th.). 128.
[8] H. Nasaruddin Umar.2008. Ulumul Qur’an (mengungkap makna-makna tersembunyi Al-Qur’an, (Jakarta, Al-Gazali Centre). 152
[9] Syaikh Manna’ Al-Qathnhan.2007. Pengantar Studi Ilu Al-Qur’an, (Jakarta; Pustaka Al-Kautsar).195